Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Tepi Sungai Nil, Soeharto Ungkap Keinginan Mundur sebagai Presiden

Kompas.com - 21/05/2023, 10:40 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pada 14 Mei 1998, Harian Kompas menerbitkan koran dengan judul utama "Presiden Siap Mundur" di halaman depan.

Judul dari pemberitaan tentang Presiden Soeharto yang saat itu disebutkan siap mengundurkan diri dari jabatannya itu membuat gempar publik di Tanah Air dan luar negeri.

Rupanya, judul tersebut dimuat di Harian Kompas berdasarkan laporan wartawan Kompas Joseph Osdar, yang meliput kunjungan Soeharto ke Mesir dalam rangka menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G15 di Kairo.

Osdar menceritakan bahwa rombongan Presiden Soeharto bertolak ke Mesir sejak 9 Mei 1998.

Sementara itu, KTT G15 sendiri baru dimulai pada 11 Mei 1998.

Baca juga: 25 Tahun Reformasi: Saat Soeharto Bacakan Pidato Pengunduran Diri di Istana Merdeka

Menurut Osdar, selama di Mesir, situasi krisis dan kerusuhan di Indonesia menjadi sorotan.

Media-media di Mesir pun memberitakan situasi kerusuhan yang terjadi di Indonesia.

"Tanggal 12 Mei mulai pertemuan (KTT). Itu pas pertemuan pimpinan-pimpinan negara anggota G15 itu terjadi penembakan di Trisakti itu di Indonesia," ujar Osdar dalam wawancara khusus bersama Kompas.com, Senin (15/5/2023).

"Itu menjadi pemberitaan di televisi-televisi. Di Kairo itu, di pressroom di hotel itu yang tempat kita menginap itu sudah muncul (berita) kerusuhan, penembakan, yang nembak-nembak itu," katanya lagi.

Perkembangan situasi di Indonesia semakin menjadi perbincangan di kalangan pejabat, jurnalis maupun masyarakat di Kairo.

Baca juga: Sisyphus dan Reformasi: 25 Tahun Memperjuangkan Demokrasi

Sementara itu, kata Osdar, rombongan wartawan Istana yang ikut Soeharto ke Mesir belum bisa leluasa menuliskan kondisi yang ada.

Oleh karenanya, hanya beberapa berita kecil yang kemudian ditulis dan dikirimkan ke Indonesia.

Antara lain bagaimana reaksi di Kairo, juga pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat saat itu, Madeleine Albright di forum KTT G15 yang mencemaskan situasi di Indonesia.

Pada 13 Mei 1998, KTT G15 berakhir dan diadakan jumpa pers. Tetapi, Presiden Soeharto tidak ikut hadir.

Ternyata dalam jumpa pers tersebut ada wartawan asing yang menanyakan kepada pemimpin G15 mengenai tanggapan situasi di Indonesia.

Baca juga: 25 Tahun Reformasi: Soeharto Lengser, Habibie Jadi Presiden hingga Isu Kudeta

Osdar mengungkapkan, Menlu Madeleine Albright saat itu memberikan tanggapan dengan menyatakan bahwa sebaiknya tuntutan reformasi di Indonesia dipenuhi saja.

"Nah sudah setelah itu masalah Indonesia itu menjadi pembicaraan tanya jawab antara wartawan dengan peserta KTT G15," katanya.

Mahasiswa membawa ?keranda jenazah? Suharto saat menduduki Gedung MPR/ DPR menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, 21 Mei 1998.Rully Kesuma/Aliansi Jurnalis Independen Mahasiswa membawa ?keranda jenazah? Suharto saat menduduki Gedung MPR/ DPR menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, 21 Mei 1998.

Detik-detik Soeharto ungkap akan mundur

Osdar melanjutkan, masih pada 13 Mei 1998, tepatnya saat malam hari, Presiden Soeharto mengumpulkan masyarakat Indonesia yang belajar dan bekerja di Mesir.

Acara tersebut digelar di kedutaan RI di Kairo.

Menurut Osdar, bangunan gedung kedutaan RI berada di tepi Sungai Nil, sungai yang dikenal luas publik dunia sebagai pusat peradaban masa lalu Mesir.

Osdar mengungkapkan, saat itu Soeharto menyampaikan pemaparannya tanpa teks. Salah satunya soal isu reformasi.

"Tentang kita nanti akan mengadakan reformasi, tentang tuntutan reformasi. Lalu, Pak Harto dengan gayanya menyatakan, 'bahwa nanti kita akan mengadakan reformasi. Reformasi itu sebenarnya sudah berjalan'," demikian jelas Osdar mengutip pernyataan Soeharto saat itu.

Bahkan, ketika itu Soeharto sempat menyatakan reformasi sudah ada sejak dulu, tepatnya sejak zaman kerajaan Majapahit.

Baca juga: Yusril Kenang Detik-detik Soeharto Mundur, Orde Baru Runtuh, Berganti Era Reformasi

Jenderal bintang lima TNI itu pun melanjutkan penjelasan dengan menyinggung soal harta kekayaan keluarganya.

"Dia ngomong sendiri bahwa 'saya dituduh sebagai orang yang menyimpan harta kekayaan Indonesia. Saya terimakasih kalau saya dituduh bahwa saya orang kaya di dunia. Karena nanti kekayaan saya bisa buat mengatasi krisis di Indonesia ini'," kata Osdar masih menirukan ucapan Soeharto.

Setelah membantah soal harta kekayaan itulah, Soeharto kemudian menyampaikan kalimat yang akhirnya membuat gempar pemberitaan.

"Dia (Presiden Soeharto) mengatakan, 'kalau seandainya rakyat tak menghendaki saya, ya sudah saya juga tidak mengapa kalau saya mundur. Tetapi harus tetap secara konstitusional. Saya tidak akan mempertahankan dengan senjata'. Kurang lebih begitu," ujar Osdar.

Tengah malam cari telepon untuk laporkan berita

Saat itulah Osdar tersadar bahwa pernyataan yang baru saja disampaikan Soeharto merupakan hal penting.

Insting wartawannya mengatakan bahwa pernyataan itu harus segera dilaporkan kepada redaksi di Jakarta.

"Tapi, saya lihat (waktu) di Indonesia sudah hampir jam satu (01.00 WIB dinihari). Sudah deadline. Tapi, ya sudah saya lalu cari telepon, di kedutaan itu saya cari telepon untuk menelpon ke Indonesia," katanya.

Baca juga: Ketika Aksi Mahasiswa 1998 di Era Soeharto Dihadapkan dengan Peluru Tajam...

Namun, karena sudah lewat tengah malam, telepon di kedutaan sudah ditutup. Sementara saat itu belum ada smartphone seperti saat ini.

Saat itu, Osdar terus mencari telepon mana yang bisa digunakan. Akhirnya, ia menemukan satu-satunya telepon yang ada, yakni di pos penjagaan.

"Nah saya telepon dari situ. Saya menyatakan kepada Kompas, saya bilang, 'ini Pak Harto mau mundur. Pak Harto mau mundur nih'," kata Oscar.

Karena waktu deadline semakin mendekati, saat itu akhirnya Kompas meminta Osdar memberikan laporan dengan didiktekan lewat telepon.

Redaksi kemudian menulis hasil laporan lisan yang diberikan Osdar.

Osdar mengungkapkan, saat itu ada dua poin yang disampaikannya.

"Pertama, Kalau rakyat Indonesia tidak menghendaki saya, saya tidak akan mempertahankan dengan senjata. Lalu, yang kedua, pada intinya Presiden Soeharto membantah bahwa keluarganya itu terkaya keempat di dunia. Sudah itu saja," ujarnya.

Baca juga: Hari-hari Lengsernya Soeharto Setelah 32 Tahun Menjabat Presiden

Setelah memberikan laporan ke Jakarta, Osdar sempat berjalan-jalan sebentar di Kairo.

Namun, karena perasannya tidak enak karena telah memberikan laporan sebelumnya dirinya tak jadi menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan.

Ia memikirkan seperti apa pemberitaan yang akan terbit di Kompas keesokan harinya.

Osdar pun kembali ke hotel tempat rombongan wartawan Indonesia menginap.

Sesampai di hotel, resepsionis mengabarinya bahwa dia mendapat telepon dari Jakarta.

Saat telepon diterima, ternyata Mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin yang menghubunginya.

"Saya ambil telepon, ternyata waktu itu yang telepon Pak Ali Sadikin. 'Wah Osdar ternyata kamu bukan anteknya Soeharto ya, kita mau bergerak ini'," demikian kata Oscar menirukan Ali Sadikin.

Baca juga: Kekecewaan Soeharto ketika Ditinggalkan 14 Menteri...

Sebagaimana diketahui selama Orde Baru, Ali Sadikin diketahui sebagai salah satu tokoh yang kerap mengkritik Soeharto.

Dari perbincangan telepon itulah Osdar mengetahui bahwa berita yang dilaporkannya menjadi berita utama atau headline di Harian Kompas.

Saat itu, Osdar langsung merasa khawatir. Ia memikirkan seperti apa dampak dari pemberitaan tersebut nantinya.

"Wah saya sudah gini (menyentuh dada memeriksa detak jantung karena merasa khawatir). Ternyata benar (dampak pemberitaannya)," kata Osdar.

"Sebab, saat saya sampai di kamar itu teman saya yang satu kamar dari Suara Pembaruan sedang mencari-cari rekaman," ujarnya lagi.

Rekaman yang dimaksud adalah saat Soaharto mengatakan akan mundur.

Baca juga: Kunjungan Soeharto ke Mesir Sebelum Mundur sebagai Presiden...

Suasana di "dapur" Kompas sebelum terbitkan judul "Soeharto Mundur"

Dilansir dari pemberitaan Kompas, James Luhulima, redaktur politik Harian Kompas ketika itu menerima telepon dari Osdar dari Mesir.

Osdar melaporkan bahwa Soeharto menyampaikan mau mundur.

"Saya bilang, 'wah, itu berita besar. Kirim deh'. Waktu itu saya bilang kirim tiga alinea saja karena sudah malam. Jadi, kalau dia bikin tiga alinea tidak terlalu lama waktunya, tapi esensinya ada. Tapi dia bilang di sini repot. Akhirnya, saya suruh dia dikte, saya catat," kata James.

August Parengkuan, Wakil Pemimpin Redaksi Kompas ketika itu mengaku percaya dengan laporan wartawannya.

Ketika Osdar melaporkan hal tersebut, August memutuskan untuk dimuat di halaman utama.

"Saya pengambil keputusan pada malam itu," kata August.

Baca juga: Saat Mahasiswa Duduki Gedung DPR/MPR, Tuntut Soeharto Mundur

Ansel da Lopez, wartawan nonaktif Kompas yang menjabat anggota DPR ketika itu menceritakan, para anggota Komisi I DPR sempat bertanya kepadanya perihal headline Kompas tersebut.

Ansel kemudian menghubungi Osdar. Kepada Ansel, Osdar membenarkan Soeharto mengucapkan seperti dalam berita.

"Saya lalu menyampaikan kepada teman-teman yang menanyakan, betul menurut teman saya yang membuat berita itu, betul Pak Harto menyatakan bersedia mundur," kata Ansel.

Sementara itu, Wiranto dalam bukunya "Bersaksi di Tengah Badai" bercerita, setelah kembali ke Tanah Air usai kunjungan ke Mesir pada 15 Mei, Soeharto memanggil para menteri.

Momen itu dihadiri Menko Polhukam Feisal Tanjung, Mendagri R Hartono, Mensesneg Saadillah Mursjid, Menteri Kehakiman Muladi, Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Kepala Bakin Moetojib, Jaksa Agung Soedtjono C Atmonegoro, dan Wiranto.

Selain meminta laporan situasi Tanah Air, Soeharto juga mengoreksi pemberitaan yang mengatakan dirinya siap mundur.

"Yang saya nyatakan adalah kalau masyarakat tidak lagi memberikan kepercayaan, sebetulnya tidak apa-apa. Kalau tidak percaya, ya sudah. Saya tidak akan mempertahankan dengan kekuatan senjata. Saya akan mandeg pandito, akan mendekatkan diri dengan Tuhan. Membimbing anak-anak supaya menjadi orang yang baik dan kepada masyarakat bisa memberi nasihat, bagi tut wuri handayani," kata Soeharto.

Baca juga: 25 Tahun Reformasi: Saat Soeharto Bacakan Pidato Pengunduran Diri di Istana Merdeka

Kepada publik, Soeharto juga mengklarifikasi pemberitaan Kompas tersebut. Ia membantah dirinya mengatakan, 'saya siap mundur'.

Untuk memuat berita klarifikasi itu, redaksi Kompas saat itu dihadapkan pada dua pilihan judul berita.

"Saya punya dua pilihan waktu bikin judul berita klarifikasi itu. Pertama 'Soeharto Bantah Katakan Siap Mundur' atau yang kedua, 'Soeharto: Tidak Benar Saya Katakan Saya akan Mundur'. Ada dua hal itu," ujar James.

Dua judul berita itu memiliki dua nuansa yang berbeda pula. Judul pertama, memberikan kesan bahwa Soeharto meralat pernyataan bahwa dirinya akan mundur.

Sementara, judul kedua memberi kesan bahwa berita Kompas soal Soeharto siap mundur adalah salah.

"Akhirnya saya pilih judul pertama. Jadi seakan-akan dia sudah ngomong, lalu dia bantah. Dalam posisi seperti ini, posisi kami menjadi lebih kuat kan," ujar James.

Baca juga: 25 Tahun Reformasi: Soeharto Lengser, Habibie Jadi Presiden hingga Isu Kudeta

Presiden Soeharto. Gambar diambil pada 15 Januari 1998.KOMPAS/JB SURATNO Presiden Soeharto. Gambar diambil pada 15 Januari 1998.

Setelah itu, Soeharto mengumumkan akan merombak kabinetnya. Ia juga tiba-tiba membuka peluang berkomunikasi dengan tokoh oposisi.

James mengatakan, pada 20 Mei 1998 malam, redaksi Kompas sudah mendapatkan informasi bahwa Soeharto akan menyatakan berhenti sebagai Presiden pada keesokan harinya. Tetapi, tidak ada seorang pun pejabat negara yang bersedia dikonfirmasi soal itu.

"Kalau kami tulis kita sendiri yang bilang Pak Harto akan mundur besok pagi, kalau enggak jadi mundur, kredibilitas Kompas rusak. Jadi, kami perlu orang yang ngomong bahwa besok Pak Harto mundur atau judul apalah. Pokoknya isi dari judul Kompas itu memberitahu kepada masyarakat di pagi hari bahwa Pak Harto hari itu akan mundur," ujar James.

Sebuah judul pun dipilih mewakili kondisi pemerintahan Indonesia saat itu, yakni "Selamat Datang Pemerintahan Baru".

Baca juga: Dulu kalau Demo Bawa Foto Soeharto Itu Tabu, Takut Ditembak

Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo mengakui, terjadi perdebatan dalam pemilihan judul itu.

Sebab, ia berpadangan, terlalu berisiko jika Kompas menulis judul terang-terangan bahwa Soeharto mundur.

"Kenapa judul itu yang dipilih? Karena Kompas akan terbit pada jam 07.00 atau jam 08.00 pagi dan Soeharto akan mengumumkan pengunduran diri jam 10.00 WIB sehingga tidak mungkin kami memberikan judul bahwa Soeharto mundur. Itu akan sangat berisiko secara politik kalau Soeharto membatalkan niatnya untuk mundur," ujar Budiman.

August Parengkuan kala itu berpikir bahwa pemerintahan boleh dibilang lumpuh. Dengan wewenang yang dimiliki, ia pun memutuskan untuk mencetak headline "Selamat Datang Pemerintahan Baru."

"Sudah lumpuh lah pemerintahan waktu itu sehingga siapa yang takut pada pemerintahan yang sudah lumpuh?" ujar August.

Akhirnya, pada 21 Mei 1998 pukul 09.05 WIB, di ruang Credentials Room di Istana Merdeka, Soeharto mengumumkan bahwa ia berhenti sebagai Presiden RI.

James mengatakan, "Ketika pagi-pagi akhirnya Pak Harto jadi mundur, kita jadi menang...".

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: 18 Mei 1998 Mahasiswa Duduki Gedung DPR/MPR, Minta Soeharto Mundur

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com