JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tidak punya alasan kuat untuk membuat aturan baru yang diperkirakan bisa mengancam besaran keterwakilan 30 persen caleg perempuan pada Pemilu 2024.
"Penting menyikapi peraturan baru KPU ini karena kalau kita lihat data partisipasi perempuan dalam pemilu, ketentuan 30 persen pencalonan ini selama Pemilu 2004 sampai 2019 berhasil memaksa partai politik memenuhi keterwakilan perempuan," jelas Direktur Puskapol UI, Hurriyah, dalam jumpa pers, Minggu (7/5/2023).
Baca juga: Aturan Baru KPU Bisa Kurangi Keterwakilan Caleg Perempuan di Hampir Separuh Dapil
Pada 2004, persentase keterwakilan caleg perempuan baru 29. Pada 2009, jumlah itu naik jadi 33,6 persen, sebelum naik lagi ke angka 37,6 persen pada 2014.
Terakhir, 2019, persentasenya semakin baik dengan adanya 40 persen perempuan.
Namun, tingkat keterpilihan caleg perempuan belum menggembirakan. Pemilu 2004 hingga 2019 belum berhasil mengirim 30 persen perempuan ke parlemen, melainkan hanya 11,8 persen (2004), 18 persen (2009), 17 persen (2014), dan 20 persen (2019).
Hal ini ironis sebab jumlah pemilih perempuan sejak Pemilu 2004 tak pernah kurang dari 49 persen.
Hurriyaj menilai aturan baru KPU ini merupakan suatu kemunduran.
"Jadi bayangkan, ketika regulasinya tidak punya dasar daya paksa kepada partai politik, maka pencalonan perempuan akan semakin menurun," kata dia.
Baca juga: Bawaslu Diminta Sikapi Aturan Baru KPU yang Bisa Kurangi Porsi Perempuan di Parlemen
Sebagai informasi, aturan baru KPU ini termuat dalam Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
KPU membuka kemungkinan pembulatan desimal ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Hal ini berbeda dengan beleid sejenis untuk Pemilu 2019, yaitu Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2018, yang menerapkan pembulatan desimal ke atas.
Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 8 caleg, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Baca juga: Mengantisipasi Banjir Sengketa Pemilu Lewat Penelitian Rekam Jejak Bacaleg
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen.
KPU RI menyebut bahwa diterbitkannya ketentuan ini sudah atas sejumlah proses, termasuk rapat konsultasi di DPR RI dan uji publik ketika Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 masih berstatus rancangan.
"Dan terkait dengan penggunaan penarikan desimal hasil perkalian dengan presentase tersebut, itu menggunakan standar pembulatan matematika, bukan kami membuat norma dan standar baru dalam matematika," ujar Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, Idham Holik, Rabu (3/5/2023).
"Kami telah berkomunikasi dengan partai politik. Pada dasarnya partai politik karena affirmative action (untuk keterwakilan perempuan 30 persen) bukanlah hal baru, mereka juga punya semangat untuk mendorong caleg-caleg perempuan lebih banyak lagi. Itu yang ditangkap seperti itu," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.