ADA yang riang gembira saat Presiden Joko Widodo mengumumkan akan mengambil alih perbaikan jalan rusak di Provinsi Lampung.
Terdapat 15 ruas jalan di provinsi tersebut yang akan diperbaiki oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Untuk memperbaiki jalan di Lampung, pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 800 miliar yang akan mulai dikerjakan pada Juli 2023, di bawah koordinasi Kementerian PUPR.
Saat Presiden mengumumkan pengambilalihan perbaikan jalan itu, reaksi Gubernur Lampung Arinal Djunaidi mendapat cemoohan.
Ia tertangkap kamera langsung tersenyum dan ikut bertepuk tangan bersama para wartawan usai Jokowi menyebut pemerintah akan mengambil alih perbaikan jalan.
Gembira dan bahagia sudah menjadi hak setiap individu hidup, terlebih bagi seorang pejabat publik. Tentu merekalah yang harus bahagia lahir batin terlebih dahulu agar bahagia pula saat melayani kepentingan masyarakat.
Namun, senyum bahagia pejabat menjadi tidak terlalu penting dan tidak bernilai apa-apa alias “empty” jika sama sekali tidak berempati pada rakyat.
Betapapun canggih program pemerintah, berapapun besar anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk perbaikan jalan, tak akan lebih penting dibanding empati dalam implementasi kebijakan publik, terlebih jika berkaitan dengan infrastruktur primer yang menjadi urat nadi mobilitas masyarakat.
Setiap pejabat seharusnya punya “stok” empati lebih besar dibanding masyarakat biasa.
Meskipun para pejabat pembuat kebijakan mungkin tidak selalu berinteraksi langsung dengan orang-orang yang terdampak oleh kebijakan mereka, tetapi kebijakan yang didasari empati publik akan menghasilkan fasilitas publik yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Pejabat tak perlu banyak pencitraan, tak perlu banyak “blusukan”, cukup hadir dengan kebijakan yang menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama.
Dalam hal ini, empati pejabat menjadi “mata batin” untuk memantulkan dan menginterpretasikan apa yang sedang terjadi dan apa yang dibutuhkan masyarakat (Lacoboni, 2008; Decety & Jackson, 2004; Decety & Lamm, 2006).
Tak perlu hadir secara fisik, cukup dengan laporan data akurat dan empati, pejabat akan mampu mencerminkan setiap proses dan kejadian di mana mereka akan mudah mengetahui keadaan internal masyarakat.
Dengan demikian, empati interpersonal dapat berkontribusi pada tindakan kolektif melalui pemerintah.
Pejabat yang memiliki tingkat empati yang lebih tinggi memiliki kemampuan lebih besar untuk melihat dan memahami keadaan kehidupan orang lain. Oleh karena itu, mungkin mendukung kebijakan publik yang mengatasi kesejahteraan sosial dan kesejahteraan orang lain.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.