Fakta di lapangan menunjukkan bahwa arus mudik tahun ini berkisar di angka 100 juta. Artinya puluhan juta manusia Indonesia, harus menyambung hidup dengan berpindah/bermigrasi dari kota kelahirannya.
Sehingga, secara awam dapat dikatakan bahwa sudah terlanjur ’tersosialisasi’ bahwa hidup adalah sekolah yang rajin, lalu setelah lulus berburu pekerjaan di kota besar.
Jika tidak ada upaya membangun konstruksi sosial baru, maka aksi ini akan terus berulang. Pemahaman masyarakat tidak akan banyak berubah, dan tentunya beban kota akan semakin meningkat.
Ketika sekolah dan kuliah hanya mengajarkan agar peserta didik pintar mencari kerja, dan ’pekerjaan’ tersebut sudah terlanjur dimitoskan hanya ada di kota, dan kota besar khususnya, maka inilah yang terjadi.
Arus migrasi dan urbanisasi seakan tidak pernah berhenti, dan periode mudik menjadi puncaknya.
Instalisasi pemahaman yang seragam ini membuat ’seakan-akan’ lulusan sekolah ataupun perguruan tinggi, tidak memiliki banyak alternatif pilihan setelah lulus, kecuali melamar pekerjaan yang ’bagus’ dan bergaji ’prospektif’.
Masih sangat minimalis lulusan yang hidup dengan misi hidup yang kuat, seperti ingin membangun desa, menjadi pemberdaya masyarakat di tanah kelahiran, menjadi wirausaha di kota asal dan lain-lain.
Misi hidup ini secara umum adalah penggerak ataupun daya dorong. Misi hidup membuat individu kokoh dan tegar dengan pendirian dan visinya. Mereka tidak mudah terombang-ambing mengikuti arus utama pergerakan masyarakat pada umumnya.
Semangat de-urbanisasi menghembuskan makna bahwa ketika seseorang dilahirkan di kampung/di desa, misalnya, berarti ia ’ditakdirkan’ untuk menjalankan misi mulia di daerah tersebut.
Sejatinya proses pendidikan dapat terus disisipi dengan semangat/mentalitas kewirausahaan serta pendidikan agama.
Sehingga peserta didik semakin yakin akan visi/misi mengapa ia diciptakan (seperti menjadi khalifah di tempat kelahirannya, menjadi bermanfaat bagi penduduk sekitar dll).
Selanjutnya, pendidikan kewirausahaan yang baik akan membangkitkan mentalitas pantang menyerah, kemampuan membangun usaha, kapasitas mengelola usaha berbasis potensi lokal dan lain-lain.
Sehingga sekian persen dari lulusan, akan memiliki pemikiran yang ’out of the box’ dan tidak menjadi arus migrasi ke kota besar dengan dalih mencari penghidupan yang lebih baik.
Akhir kata, sosialisasi sosiologis menjadi penting. Damsar (2019) menegaskan bahwa sosialisasi primer merujuk pada suatu proses melaluinya seorang anak manusia mempelajari atau menerima pengetahuan, sikap, nilai, norma, perilaku esensial dan harapan agar mampu berpartisipasi efektif dalam masyarakat dan/atau menjadi anggota masyarakat.
Sehingga pekerjaan rumah kita bersama adalah membangun sosialisasi yang baik pada seluruh peserta didik bahwa urbanisasi bukanlah satu-satunya jalan keluar.