“Kebahagiaan kita bukan karena berkoalisi dengan kekuasaan, tetapi kebahagiaan itu akan datang ketika kita bisa menangis dan tertawa bersama” – Megawati Soekarnoputri.
Kekuasaan yang dimaknai oleh putri Bung Karno itu, tidak sekadar menjadi pemanis kalimat penyemangat. Megawati secara konsisten menerapkan demokrasi di partai yang dibidaninya.
Kata demokrasi yang disematkan di belakang nama partai, tidak sekadar menjadi pemanis belaka. Jika Megawati egois dan tinggi hati, mungkin saja “kavling” kekuasaan dari partainya selalu dipaksakan hanya untuk anak, cucu, dan keturunannya saja.
Megawati sadar sedang mengukir sejarah. Menorehkan catatan historis bahwa dari rahim partainya dilahirkan pemimpin dan (calon) pemimpin bangsa.
Tepat hari Jumat, 20 April 2023 di saat Ramadhan memasuki masa penghujung secara tiba-tiba “mata bathin” Megawati terbuka.
Proses kontemplasi yang dijalaninya menemukan muaranya. Nama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo disebut lantang sebagai Calon Presiden “resmi” dari PDI Perjuangan.
Dengan didampingi Presiden Joko Widodo, Ketua DPP PDI Perjuangan yang juga Ketua DPR-RI, Puan Maharani, Kepala Ruang Pengendali dan Analisis Situasi PDI Perjuangan, Prananda Prabowo, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri “menugaskan” Ganjar Pranowo untuk maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Penunjukkan Ganjar sebagai Capres dari PDI Perjuangan begitu sangat dinanti akar rumput partai berlambang kepala banteng itu. ”Drama” Ganjar begitu mengharu biru di tengah polemik pencalonan Puan Maharani di elite-elite partai.
Pembentukkan Dewan Jenderal yang digagas anggota DPR-RI Trimedya Panjaitan dan Johan Budi “dilawan” oleh sel-sel “diam” yang selama ini sengaja bergerak “senyap”. Nama Mantan Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo menjadi yang “terdepan” mempromosikan nama Ganjar.
Munculnya Dewan Kopral adalah bentuk perlawanan dari munculnya Dewan Jenderal. Baik FX Hadi Rudyatmo maupun Ganjar sempat dipanggil Dewan Kehormatan Partai dan diberi skors karena dianggap tidak mengindahkan instruksi partai.
Pencapresan Ganjar oleh Megawati juga mengakhiri faksi-faksi yang sempat muncul di PDI Perjuangan, baik yang mendukung secara terbuka Puan Maharani atau menyokong “diam-diam” Ganjar.
Uniknya di partai besutan Megawati ini adalah, ketika Sang Ketua Umum sudah “mentitahkan” instruksi, maka seluruh slagorde partai bergerak tegak lurus mengikuti arahan. Apalagi Puan Maharani telah ditunjuk sebagai “komandan” tim pemenangan pencapresan Ganjar.
Bagi Puan, interaksinya dengan Ganjar justru telah dibuktikan saat ditugaskan Megawati menjadi komandan lapangan pencalonan Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah di periode pertama, 2013.
Justru dari momen Batutulis itu, Megawati menyiratkan pesan kesolidan di partainya usai mendeklarasikan Ganjar sebagar Capres. Tidak ada rivalitas, tetapi yang ada adalah tekad memenangkan PDI Perjuangan secara “hatrick” alias tiga kali berturut-turut.
Kehadiran Presiden Jokowi di Batutulis saat nama Ganjar diumumkan Megawati sebagai Capres resmi dari PDI Perjuangan, juga mengakhiri “drama” obral dukungan Jokowi terhadap Prabowo Subianto.
Sejak awal, saya secara konsisten menerka “hati” Jokowi memang dijatuhkan kepada Ganjar. Sinyal terbuka Jokowi kepada relawannya untuk memilih Capres yang “berambut putih” dan “wajah berkerut-keruk” identik hanya ada pada sosok Ganjar Pranowo.
Sebagai presiden dua periode dan juga kader PDI Perjuangan, Jokowi paham betul “memainkan” irama politik di tubuh banteng.
Ketika nama Puan Maharani ramai digadang-gadang sebagai Capres, Jokowi paham betul tidak elok menentang Puan dan Megawati yang berjasa besar dalam mengorbitkan karier politiknya sejak dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga Presiden RI.
Jokowi tidak sekalipun “mengendorse” nama Puan, justru Jokowi seolah-olah “mensupport” nama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto selain Ganjar. Jokowi – sekali lagi – paham betul untuk mendobrak kelambanan PDI Perjuangan dalam mencapreskan Ganjar.
Ketika Jokowi sibuk “menggandeng” Prabowo di berbagai forum dan efektif menaikkan poin elektoral Prabowo, maka dengan cepat Jokowi “menggamit” Ganjar di berbagai kesempatan jelang pengumuman Batutulis.
Pascapenolakkan keikutsertaan Israel dalam drawing Piala Dunia U-20 yang berimbas kepada nama Ganjar Pranowo, Jokowi tetap kalem menanggapi kegerahan publik.
Jokowi segera menugaskan Menteri BUMN sekaligus Ketua Umum PSSI Erick Thohir untuk melobi FIFA dan hasilnya Indonesia terhindar dari sanksi berat dari FIFA.
Efek endorsment Jokowi tehadap preferensi Capres memang tidak bisa dipandang enteng. Dengan berdiri dan duduk “barengan” bersama jajaran PDI Perjuangan dan Capres Ganjar Pranowo di Batutulis, menjadi penanda akhir keberpihakkan Jokowi terhadap Prabowo Subianto.
Sikap Jokowi masih akan ditunggu soal preferensinya terhadap calon pendampingnya Ganjar. Selama ini secara terbuka, Jokowi selalu memberi sinyal kepada Erick Thohir mengingat Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi – Amin itu seirama dengan dirinya.
Di Solo, sudah lama berdiri relawan pendukung Ganjar dan Erick Thohir. Akronim ayah Pinokio yang bernama “Gapeto” atau Ganjar – Erick Thohir adalah implementasi dari kehendak Jokowi soal sosok berambut putih dan berwajah penuh kerutan.
Gapeto adalah sosok pekerja keras, pekerja rajin yang berkarya dari pagi hingga malam serta berkutat di bidang pahat memahat kayu.
Tentu pekerjaan mebeler yang pernah dilakoni Jokowi sebelum menjabat sebagai Wali Kota Solo, juga tidak berbeda jauh dengan Gapeto yang berkutat di urusan kayu.
Jokowi pun juga memiliki “chemistry” dengan sosok Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Andai nama Ganjar disandingkan dengan Khofifah, misalnya, lumbung suara Khofifah di Jawa Timur akan melengkapi dukungan suara di kandang banteng di Jawa Tengah.
Baik Ganjar maupun Khofifah begitu saling komplemen mengingat di kamus pemenangan Capres – Cawapres, jika satu ditambah satu tidak boleh sama dengan dua. Satu ditambah satu dalam adagium pemenangan Capres – Cawapres harus lebih dari dua.
Bersatunya dua gender dalam instrumen kampanye Pilpres begitu efektif menangguk dukungan di pasar pemilih.
Jokowi pun juga puas dengan kinerja Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno sehingga duet Ganjar – Sandi juga berkualifikasi “ngeri-ngeri sedap”.
Yang menjadi kendala sulit terwujudnya pasangan ini adalah sikap Jokowi yang tidak ingin melukai Prabowo menginggat Sandi masih belum resmi keluar dari Gerindra.
Ancang-ancang politik Sandiaga yang ingin meninggalkan Gerindra dengan bermain “zig-zag” antara menerima pendekatan PKS dan ingin menjadi kader PPP, saya duga adalah strategi Sandiaga untuk masuk pintu Koalisi Perubahan maupun koalisi besar yang digagas Gerindra-PKB- Golkar-PPP-PAN- Perindo-PSI-PBB serta PDI Perjuangan andai jadi bergabung. Sandi merasa layak menjadi “pengantinnya” Anies atau Ganjar.
Jika kontes Pilpres 2024 ingin segera tuntas tanpa segregasi politik seperti pengalaman Pilpres 2014 dan 2019, yakni rivalitas kubu cebong dan kampret, maka idealnya adalah melanjutkan kemesraan Jokowi dengan Prabowo.
Tentu saja bagi PDI Perjuangan, pencapresan Ganjar adalah “harga mati” sehingga tawaran maksimal yang tidak bisa dinego lagi jika PDI Perjuangan bergabung dalam koalisi besar adalah menyodorkan nama Ganjar sebagai kandidat RI-1.
Siapa yang akan mendampingi Ganjar? Tentu nama Prabowo Subianto yang pantas menjadi Cawapres-nya Ganjar.
Hanya saja apa mungkin idealitas Ganjar – Prabowo bakal mudah terwujud mengingat menjadi presiden adalah harapan yang tidak kunjung padam dari Prabowo?
Andai saja yang diprioritaskan adalah melanjutkan program-program pembangunan Jokowi yang belum tuntas dan mengekalkan koalisi pendukung Jokowi minus Nasdem, maka akan lebih dasyat jika Prabowo mau menanggalkan ego politiknya yang demikian besar.
Dengan pengalaman Prabowo yang gagal berkali-kali sebagai presiden dan wakil presiden dan menjadi menteri karena “kebesaran” hati Jokowi, maka Prabowo begitu elegan menjadi “mentor” sekaligus guru bangsa sebagai calon wakil presiden.
Kalaupun Prabowo masih “keukeuh” tetap maju di Pilpres 2024 sebagai Capres akan lebih kolaboratif jika ada salah satu pasangan di kubu pendukung Jokowi kalah bertarung di Pilpres 2024 nantinya, akan mendukung pasangan Capres – Cawapres yang melaju ke Pilpres putaran ke dua.
Ada pelajaran dan hikmah penting dari pencapresan Ganjar oleh PDI Perjuangan adalah kebesaran Megawati mencalonkan kader terbaiknya sebagai sosok yang diusung sebagai kandidat presiden pasca-Jokowi menuntaskan tugasnya di 2024.
Megawati tidak memaksakan anaknya sebagai Capres dan diorbitkan sedemikian rupa. Megawati juga tidak “berjudi” dengan nasib, yakni mendegradasi karier politik anaknya setelah gagal jadi Capres lalu menyodorkannya menjadi Cawapres.
Megawati paham, dia harus meninggalkan “legacy”. Kehidupan partainya harus terus berlanjut ketika era anak muda siap mengambil alih kepemimpinan.
Dia sekali lagi, tidak memaksakan diri memasukkan “rombongan” kerabatnya masuk menjadi calon anggota legeslatif.
Megawati sadar, dirinya sedang “mengukir” sejarah dengan menempatkan anak-anak muda di pelataran politik nasional. Joko Widodo telah ditempanya sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga Presiden.
Ganjar pun melewati beberapa etape “penggojlokkan” mulai dari simpatisan, kader, aktif di sayap partai, menjadi anggota DPR-RI hingga Gubernur Jawa Tengah.
Abdullah Azwar Anas pun demikian, mulai dari parlemen, Bupati Banyuwangi hingga Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
Tri Rismaharini pun idem dito, mulai dari Wali Kota Surabaya hingga Menteri Sosial. Wayan Koster pun sama, dari parlemen hingga Gubernur Bali.
Djarot Saeful Hidayat juga serupa, dari Wali Kota Blitar, anggota DPR, hingga Wakil Gubernur dan Gubernur DKI Jakarta.
Begitu banyak kader-kader PDI Perjuangan menjadi “bintang-bintang” di kepemimpinan lokal dan mereka siap menjani karier politiknya di penugasan yang lain.
"Saya ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Saya besar karena rakyat, berjuang karena rakyat, dan saya penyambung lidah rakyat". – Soekarno.
Semoga Ganjar Pranowo tidak menyia-nyiakan “garis sejarah” yang disematkan Megawati Soekarnoputri dan tidak melupakan pesan Bung Karno.
Menjadi Presiden memang penting, tetapi jauh lebih penting tidak melupakan rakyat. Apalagi melukai rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.