MUDIK secara umum dimaknai sebagai ‘pulang ke kampung halaman’, atau “pergi ke rumah orangtua”. Aktivitas terus berulang bertahun-tahun, khususnya pada momentum hari raya keagamaan.
Maka kegiatan mudik, secara umum dipicu oleh migrasinya sejumlah penduduk dari ’desa’ ke ’kota’ untuk meraih harapan hidup yang lebih baik.
Sejumlah orang, berjuang untuk keluar dari wilayah kelahirannya, untuk mendapatkan peluang kesejahteraan yang lebih baik. Sehingga, pada momentum tertentu, mereka akan pulang ke ’rumah’-nya masing-masing kembali.
Dilansir dari buku Eco Cities: Ecological Economic Cities (2010) dalam Artikel di Kompas berjudul Ciri-ciri Kehidupan Masyarakat Kota dan Komunitas Perkotaan, karya Hiroaki Suzuki, kota adalah suatu tempat yang penghuninya memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonomi di pasar lokal.
Artinya, perkotaan adalah wilayah yang telah melengkapi dirinya untuk memenuhi kebutuhan warganya, termasuk dalam hal kebutuhan pasar kerja.
Kiranya, inilah yang menjadi magnet utama, berbondong-bondongnya warga pindah mengadu nasib ke kota. Artinya terjadi migrasi yang terus menerus, yang biasanya puncaknya adalah momentum Lebaran.
Menurut Mantra (2012), terdapat dua bentuk migrasi apabila dilihat berdasarkan ada atau tidaknya niatan migran untuk menetap, yaitu:
1. Migrasi penduduk permanen, yaitu perpindahan penduduk dari daerah asalnya menuju daerah tujuan dan berniat untuk menetap di daerah tersebut.
2. Migrasi penduduk non-permanen, yaitu perpindahan penduduk dari daerah asal menuju daerah tujuan dan tidak mempunyai niat untuk menetap di daerah tersebut.
Meskipun penduduk migran tersebut tinggal dalam waktu yang lama, tetapi tidak mempunyai niat untuk menetap, maka dikatakan migrasi penduduk non-permanen.
Maka mudik berlaku bagi mereka yang saat ini berpisah rumah/berpisah lokasi dengan orangtuanya, baik karena sudah berumah tangga, bekerja, melanjutkan pendidikan dan lain-lain.
Perilaku mudik membuktikan bahwa seseorang atau keluarga, perlu untuk pindah kota dalam rangka memenuhi kebutuhan pekerjaan dan hajat hidupnya.
Artinya, daya dukung desa dan mungkin juga sejumlah kota, belum mumpuni untuk menyediakan kebutuhan lapangan pekerjaan bagi warga ’aslinya’.
Ketika kebutuhan terus menerus tidak terpenuhi, maka arus migrasi akan terus berlanjut. Sejumlah lokasi akan semakin padat dikeroyok oleh para pencari kehidupan.