JAKARTA, KOMPAS.com - Status operasi siaga tempur TNI di Papua disebut tak mengubah bentuk operasi di lapangan, khususnya untuk wilayah yang masuk kategori rawan.
Adapun penetapan status operasi siaga tempur di Papua buntut penyerangan yang dilancarkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang menewaskan empat prajurit TNI Angkatan Darat.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menjelaskan, operasi siaga tempur yang ditetapkan TNI hanya meningkatkan status kesiapsiagaan prajurit di lapangan.
Menurutnya, skema operasi ini, misalnya, penetapan status siaga 3 yang mengharuskan setiap personel tidak boleh keluar kota tempat mereka bertugas.
Selanjutnya, siaga 2 mewajibkan prajurit untuk siap siaga di markas mereka bertugas. Sedangkan siaga 1 menempatkan personel-personel TNI di pos-pos yang sudah ditentukan sebelumnya.
"Siaga tempur ini kira-kira artinya adalah personel sudah ditempatkan di pos dan senjata harus dibawa kemana-mana dan siap tembak," ujar Fahmi kepada Kompas.com, Kamis (20/4/2023).
Dengan kata lain, Fahmi menyebut operasi siaga tempur ini adalah kondisi di mana pasukan berada dalam situasi siap untuk bertempur secara efektif.
Artinya, semua bentuk persenjataan yang digunakan sudah siap tembak jika sewaktu-waktu ancaman hadir, dan pasukan tidak perlu ragu-ragu untuk melepaskan tembakan ketika terjadi penghadangan atau penyerangan, dalam hal ini oleh KKB.
Menurutnya, kehadiran TNI di Papua dengan membantu tugas Polri masih dalam koridor Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
"Karena tidak ada yang berubah secara signifikan, operasi di Papua masih merupakan operasi penegakkan hukum yang dikendalikan oleh Polri, ya semuanya masih legal dan tidak berada di luar hukum," tegas Fahmi.
Fahmi menambahkan, penetapan status siaga tempur sebagaimana pernyataan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono tidak membutuhkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Kebijakan dan keputusan politik negara baru dibutuhkan jika pemerintah berencana mengubah tugas TNI di Papua.
Dari yang semula OMSP untuk membantu Polri menjadi OMSP untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata atau pemberontakan bersenjata.
"Sampai saat ini kita belum mendengar ada rencana pemerintah untuk pertama-tama menetapkan kelompok bersenjata di Papua itu sebagai gerakan separatis atau pemberontak, kemudian dengan persetujuan DPR, Presiden memerintahkan TNI untuk mengatasinya," imbuh dia.
Baru-baru ini, konflik di Papua kembali memanas setelah KKB menyerang TNI. Serangan ini mengakibatkan empat prajurit gugur di medan tugas.
Akibat peristiwa itu, Panglima TNI meningkatkan status operasi TNI di Nduga, Papua menjadi siaga tempur.
"Kita tetap melakukan operasi penegakan hukum dengan soft approach dari awal saya sudah dampaikan itu, tapi tentunya dengan kondisi seperti ini, di daerah tertentu kita ubah menjadi operasi siaga tempur," kata Panglima di Mimika, Papua Tengah melalui rekaman suara yang dibagikan, Selasa (18/4/2023).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.