Ketiadaan gatekeeping (yang dulu dimiliki media tradisional) kini di dalam platform digital secara potensial telah meningkatkan kapasitas berbagai orang, pihak, kelompok, dan seterusnya, untuk menjadi aktor yang menyusun berbagai agenda politik.
Gilardi dkk (2022) menyatakan bahwa kampanye advokasi jadi alat penting untuk kelompok politik dalam mendorong agenda spesifik mereka.
Hal ini tampaknya cocok bila dikaitkan dengan keadaan sekarang, khususnya di Jawa Barat.
Pada saat menjelang pemilu ditabuh, kini mulai berloncatan pernyataan, omongan, statement, dan semacamnya di berbagai ruang publik.
Loncatannya bahkan sudah muncul sampai ke spanduk, poster, dan berbagai medium publik lainnya yang isinya bisa membawa petaka konflik yang meluas.
Dan bila tidak diatasi segera, dengan kesadaran berkebangsaan yang baik, hal itu bisa merusak kedamaian alam kesundaan di tatar Parahyangan kita.
Dalam konteks berdemokrasi, sah-sah saja semua ingin tampil atau bersuara demi sosok pilihannya terus eksis di mata publik. Elektabilitas dan popularitasnya tetap dijaga.
Namun karena proses menjaga itu adalah bagian dari bentuk komunikasi politik yang dilakukan, maka sejatinya harus mengikuti rambu-rambu yang ada.
Rambu-rambu itu bisa berupa aturan hukum tertulis, ataupun aturan hukum tidak tertulis yang berdasar pada kata “kepatutan” dan “keetisan”.
Ranah provokasi adalah wilayah yang berbahaya. Provokasi ini bisa dilakukan dengan melempar isu tanpa identitas atau semacam surat kaleng.
Karena surat itu dibuat dalam bentuk spanduk atau poster atau unggahan di media sosial yang kemudian diviralkan, maka ia tak bisa diabaikan. Efeknya pada publik akan bervariasi.
Wilayah provokasi memang masuk ke daerah ini, memanas-manasi. Provokasi dan geliat komunikasi politik yang kini sudah menjurus ketidaketisan, harus menjadi perhatian.
Provokasi politik ini menunjukkan secara kuat bahwa iklim demokrasi dan komunikasi politik yang masih membutuhkan “terapi”.
Terapi diperlukan karena pelaku politik masih rendah dan minim dalam pendidikan politik. Sementara pendidikan politik tidak berjalan baik karena lembaganya sendiri yang memang tidak mau atau tidak serius melakukan.
Kita tidak mempersoalkan siapapun yang bertarung dan siapapun kontestan. Selagi memenuhi syarat, silahkan turun ke gelanggang.
Mau main jujur? Bagus dan memang harus begitu. Mau main curang? Ada aturan yang akan membatasi.