JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Politik Ahmad Khoirul Umam menilai koalisi besar dari gabungnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) sulit terbentuk dalam Pemilu 2024.
Ia beranggapan, pembentukan Koalisi itu bakal terganjal saat penentuan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang bakal diusung.
Sebab, ada banyak nama capres dan cawapres dalam koalisi tersebut. Bahkan, setiap partai memiliki nama unggulannya masing-masing untuk maju menduduki kursi nomor satu dan nomor dua di Indonesia.
"Jika dicermati dari faktor platform, memang mayoritas partai-partai di Koalisi Besar memiliki spirit keberlanjutan. Namun, ketika masuk di ranah penentuan capres-cawapres, potensi faksionalisme tampak menganga," kata Ahmad Khoirul Umam kepada Kompas.com, Selasa (4/4/2023).
Baca juga: Soal Kemungkinan PDI-P Gabung Koalisi Besar, Airlangga: Makin Bagus
Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina ini mengatakan, koalisi besar tampak kerepotan dalam menentukan komposisi Capres-Cawapres.
Terbukti, Ahmad mengungkapkan, muncul pernyataan sikap dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menegaskan koalisi besar akan terwujud jika Ketum PKB Muhaimin Iskandar yang menjadi capres.
Padahal, menurut Ahmad, yang dimaksud Presiden Jokowi sebagai capres dari koalisi besar adalah Ketua Umum Partai Gerindra yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto.
Ahmad mengatakan, bisa saja pernyataan PKB itu bertujuan untuk meningkatkan daya tawar Muhaimin Iskandar agar menjadi cawapres di koalisi besar.
Baca juga: Soal Kemungkinan Dipasangkan dengan Prabowo oleh Koalisi Besar, Ini Kata Airlangga
Namun, menurutnya, jika mencermati intensitas manuver elit Partai Gerindra, bisa saja partai lebih memilih Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang mendampingi Prabowo.
"Artinya, harapan Koalisi Besar akan terbentur oleh pertarungan sengit dalam menentukan cawapres," ujar Ahmad.
Lebih lanjut, Ahmad mengungkapkan, setidaknya ada tiga gerbong besar yang siap mengantri menjadi pendamping Prabowo.
Pertama, Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto sebagai pelaksanaan amanah Munas Golkar. Lalu, Ketum PKB Muhaimin Iskandar dan Menteri BUMN Erick Thohir yang berasal dari gerbong politik PAN.
"Jadi, benturannya kuat dan akan sulit tercapai negosiasi. Sementara itu, PPP juga harus dihitung," kata Ahmad.
Baca juga: Buka Peluang Gabung Koalisi Besar, PDI-P: Sejak Awal Memang Akan Gotong Royong dengan Kekuatan Lain
Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs ini juga mengatakan, koalisi besar mungkin saja akan terbentuk jika partai-partai anggota koalisi bisa menegosiasikan kepentingan dan membentuk kesepakatan.
Namun, kesepakatan itu harus bisa mengikat kolektivitas atau kebersamaan.
Dalam proses negosiasi, koalisi besar harus bisa menentukan mulai dari platform politik perubahan atau keberlanjutan, nama capres dan cawapres yang akan diusung, hingga komposisi kabinet ke depan.
"Bagaimana komposisi kabinet atau portofolio pemerintahannya ke depan? Bagaimana skema pengadaan dan belanja logistik politiknya? Dan lain sebagainya. Semua itu harus clear menjadi pokok pembahasan," ujar Ahmad.
Baca juga: KIB dan KIR Disebut Cocok Bersatu Jadi Koalisi Besar, PPP: Bisa Saja
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.