Para politisi dan partai politik harus menyampaikan pesan politik mereka dengan bahasa yang mudah dipahami Gen-Z dan menggunakan gaya yang sesuai dengan budaya populer saat ini.
Terlepas dari media sosial, para Gen-Z saat ini cenderung menyukai dan menikmati gim online.
Dalam pandangan saya, komunikasi politik akan selalu bergerak dari platform ke platform. Platform gim juga tidak lepas dari komunikasi politik.
Sebagai contoh, Presiden Joe Biden dalam kampanye Pilpres Amerika Serikat (AS) ketika berhadapan dengan Donald Trump, menjangkau suara Gen-Z di AS dengan masuk ke gim Fortnite.
Di gim tersebut, ada satu peta khusus yang berisi slogan dan pesan-pesan kampanye. Tujuannya adalah agar Gen-Z yang gemar bermain gim dapat menikmati permainan sekaligus terpapar (secara sadar maupun alam bawah sadar) pesan politik untuk memilih Biden.
Sejatinya, perkawinan antara gim dan politik sudah pernah terjadi di Pilgub DKI 2017 ketika Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang merupakan petahan maju sebagai calon. Gim itu bernama Pejuang Ahok. Namun, gim itu lebih condong pada ranah edukasi politik.
Saat ini, hal yang diutamakan dalam perkawinan gim dan politik adalah sisi politaintment, upaya masif secara tersirat untuk menyebarluaskan pesan politik tertentu.
Oleh karena itu, jangan kaget apabila di 2024, bisa saja ada foto capres-cawapres tertentu di gim yang laris manis di Indonesia.
Patut digarisbawahi, gim dapat menjadi alat yang efektif untuk memfasilitasi komunikasi politik dan membangun pemahaman yang lebih baik tentang proses politik dan tata kelola pemerintahan. Namun, perlu diingat bahwa permainan tersebut hanya dapat memberikan gambaran umum dan terkadang terlalu mensimplifikasi isu atau topik politik yang kompleks dan bervariasi.
Dari penjelasan di atas, dapat dideduksi bahwa konteks komunikasi politik yang terjadi saat ini menitikberatkan pada paradigma pemasaran. Artinya, Gen-Z (dan bisa saja para pemegang hak suara) dipandang sebagai obyek politik yang diperebutkan.
Isu-isu politik yang berkembang sejauh ini, berbicara pada tatanan elite yakni soal partai mana yang akan berkoalisi. Koalisi ini juga ada tendensi berbicara soal persentase pemenuhan ambang batas pencalonan presiden. Kemudian, isu soal koalisi akan berimplikasi pada siapa tokoh capres cawapres yang akan diusung.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: Pemilih Gen Z Cenderung Tak Ingin Golput di Pemilu 2024
Lantas, bagaimana dengan penawaran program? Komunikasi politik bergaya pemasaran saat ini mereduksi para pemegang hak suara, bukan lagi jadi konstituen tapi sekadar obyek semata. Suaranya hanya diperebutkan di masa pemilu.
Maka dari itu, partai maupun politisi lebih menerapkan manajemen citra politik agar lebih bisa ‘terjual’ di mata publik.
Menuju hiruk pikuk Pemilu 2024 yang diprediksi akan tetap bergairah, sudah saatnya komunikasi politik mengurangi paradigma pemasarannya dan lebih mengedepankan fungsinya sebagai wadah edukasi politik. Gen-Z harus diberi pemahaman bahwa politik bukan sekadar memilih di pemilu dan selesai.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.