JAKARTA, KOMPAS.com - Keberadaan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang asli sampai saat ini masih menjadi tanda tanya.
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, Supersemar merupakan salah satu bagian dari rangkaian peristiwa panjang untuk melemahkan kekuasaan Soekarno.
Setelah menerima Supersemar, Soeharto bertindak cepat. Sehari setelahnya, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Belasan menteri yang loyal terhadap Soekarno ditangkap beberapa hari kemudian. Perlahan, kekuasaan Soekarno surut.
Baca juga: Daftar Pemeran Presiden Soeharto di Film, G30S sampai Supersemar
Supersemar juga dinilai menjadi jembatan berakhirnya kekuasaan Soekarno dan tonggak dimulainya era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Pada masa kepemimpinannya, Soeharto sempat mengancam akan menggunakan Supersemar untuk kedua kalinya buat meredam aksi unjuk rasa mahasiswa dan aktivis.
Pada sekitar 1972 terjadi gejolak di tengah masyarakat akibat gelombang penolakan dan aksi demonstrasi menentang pembangunan proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Kelompok mahasiswa dan aktivis saat itu menilai proyek itu hanya buat memenuhi ambisi pembangunan fisik oleh penguasa serta menyedot banyak anggaran negara, dan tidak berdampak bagi masyarakat luas.
Baca juga: Arti Penting Supersemar bagi Bangsa Indonesia
Selain itu, para mahasiswa juga mengkritik Siti Hartinah atau Ibu Tien Soeharto sebagai orang yang bertanggung jawab atas proyek itu.
Selain itu, para aktivis dan akademisi menilai TNI tidak patut masuk ke ranah politik dengan alasan dwifungsi, dan semestinya menjadi prajurit yang profesional.
Lambat laun Soeharto merasa terusik dengan gelombang unjuk rasa mahasiswa itu. Bahkan tidak sedikit aktivis mahasiswa yang ditangkap aparat keamanan ketika berdemo.
Soehart lantas secara terbuka menyampaikan tanggapan atas gelombang demonstrasi saat itu.
Baca juga: Cerita Arsip Nasional Koleksi 6 Versi Supersemar
Saat berpidato dalam pembukaan Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) di Jakarta Selatan, pada Januari 1972 Soeharto melampiaskan amarahnya terkait gelombang unjuk rasa itu.
"Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum untuk bertindak, buat saya demi kepentingan negara dan bangsa saya akan pergunakan Supersemar. Dan saya akan pertanggungjawabkan hal itu kepada rakyat dan Tuhan," kata Soeharto secara berapi-api.
Ketika itu Soeharto beralasan ada pihak-pihak yang mempolitisasi proyek TMII untuk memojokkan dia dan pemerintahan.