SEORANG teman dari kelompok perkumpulan Hang Lekir di Jakarta, mengabarkan tentang kebakaran di Depo Pertamina, Plumpang, Koja, Jakarta Utara.
Jatuh korban jiwa 19 orang. Ratusan penduduk dekat Depo itu mengungsi. Ini sebuah bencana dan tragedi.
Ketika kabar itu sampai ke saya, kebetulan saya sedang membaca buku almarhum Ridwan Saidi (budayawan dan pernah jadi anggota DPR). Judul buku itu “Bencana Bersama SBY”, terbit 2009.
Buku ini mengupas tentang berbagai bencana alam dan bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia. Cukup serem isi buku ini. Tentu tentang Indonesia.
Sebenarnya buku ini sudah saya sering baca sebelum hari itu. Sebelum Ridwan Saidi wafat, beberapa kali saya kontak beliau dan membicarakan tentang buku itu.
“Jika belakangan ini negeri Indonesia ditimpa banyak bala bencana, itu semua tidak lepas dari dosa–dosa para penguasanya,“ demikian tulis Ridwan Saidi yang meninggal tanggal 25 Desember 2022. Kalimat ini beberapa kali kami bahas.
Menanggapi wacana metafisis ini, kata Ridwan dalam bukunya, penguasa sering mengatakan soal bencana alam dan lingkungan di Indonesia jangan terlalu dihubungkan dengan hal-hal mistik dan politik.
Memang benar, secara geografis, geologis, dan topografi, Indonesia termasuk wilayah paling rawan bencana alam.
Namun, kata Ridwan dalam bukunya, itu tidak menafikan adanya hubungan sebab akibat antara alam dengan kepemimpinan.
“Baik yang dijelaskan dengan pendekatan rasional – empiris maupun dengan pendekatan mistis,” ujar Ridwan (halaman 49).
Mengutip Walhi, Ridwan mengatakan, faktor alam hanyalah salah satu sebab bencana alam dengan proporsi yang kecil. Faktor terbesar datang dari ketidakmampuan negara dalam mengurus alam serta mereduksi ancaman bencana.
“Kondisi lingkungan hidup yang semakin rusak menambah percepatan terjadinya bencana,” katanya.
Ridwan menunjukan kelemahan pemerintah dalam mengantisipasi berbagai bencana alam maupun yang terjadi karena kesalahan manusia.
Katanya, mencemaskan bencana di Indonesia, Andre Vitchek, novelis dan senior fellow di Oakland Institute Amerika Serikat, menulis esai panjang yang dimuat dua koran internasional Herald Tribune dan The Financial Times edisi 12 Frebuari 2007. Judulnya “Indonesia: Natural Disasters or Mass Murder”.
Vitchek memaparkan, berbagai bencana di Indonesia, sesungguhnya bisa dicegah terjadinya, atau paling tidak diminimalisir dampak buruknya.
Namun upaya pencegahan itu tidak ada. Menurutnya, yang terjadi adalah pembiaran terhadap potensi berbahaya.
Di bagian lain bukunya, Ridwan Saidi mengatakan reaksi pemerintah terhadap berbagai bencana bagaikan burung hantu. Ia muncul pada malam hari setelah semua terjadi pada siang hari. Pemerintah bertindak setelah semua terjadi. Antisipasi kurang ada.
Untuk saat ini, coba liat bencana atau tragedi Depo Pertamina Plumpang. Setelah kejadian baru muncul pejabat terkait dengan sejuta pernyataan solusi yang diviral bagaikan sinetron.
Ridwan Saidi dalam bukunya mengambil analisa sosiologis Erving Goffman (sosiolog ternama abad ke 20), mencatat tingkah polah kelompok manusia yang dikaitkan dengan alam lingkungan.
Ada kelompok elite politik dan elite pemerintah yang datang ke tempat kejadian bencana dengan wajah sedih, murung, tapi sebenarnya mereka sedang melakukan adegan sinetron. Mereka datang untuk membangun citra demi mendapatkan kekuasaan.
Ridwan Saidi menulis bukunya 15 tahun lalu. Memang gambaran di masa lalu. Tapi almarhum P. Swantoro (mantan salah satu pemimpin Harian Kompas) menulis sebuah buku dengan judul “Masa Lalu Selalu Aktual”.
Berita wafatnya sejarahwan Betawi, Ridwan Saidi pada usia 80 tahun dimuat di majalah Tempo 2 – 8 Januari 2022 (halaman 10).
Di majalah yang sama juga ada tulisan “Kaleidoskop 2022: Tahun Drama, Tahun Bencana” (halaman 34). Awal artikel ini diawali dengan kalimat seperti berikut.
“Pandemi covid-19 melandai, tapi 2022 pergi menyisakan banyak drama, sehimpun bencana. Pembunuhan Brigadir Yosua, tragedi Kanjuruhan, gagal ginjal akut, terbongkarnya penyelewengan dana bantuan, imbas perang Rusia – Ukraina, konflik Papua yang tak kunjung sudah, drama politik perpanjangan masa jabatan presiden, hingga pelbagai bencana hidrometeorolgi akibat krisis iklim”. Demikian kalimat di majalah Tempo halaman 34 dan 35, terbitan 2 – 8 Januari 2023.
Delapan hari kemudian di majalah ini, Tempo terbitan 16 – 22 Januari 2023, dimuat artikel di rubrik opini berjudul “Warisan Pasal Perusak Lingkungan”.
Di bagian awal artikel ini tertulis “Dalam urusan merusak lingkungan dengan cara legal, pemerintah Joko Widodo boleh disebut jagonya.” Maaf ini hanya kalimat cuplikan dari artikel panjang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.