Berkembangnya kasus penyanderaan ini menjadi urusan diplomatik berpotensi menghasilkan preseden dan narasi yang buruk bagi OPM di mata negara pendukungnya, khususnya Selandia Baru.
Hal ini tentunya menjadi angin segar bagi Indonesia dalam membuka mata dunia terkait tindakan OPM yang justru mengancam keselamatan masyarakat, tak peduli apapun latar belakangnya.
Selain itu, Presiden Sementara Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP), Benny Wenda, justru menjadi sorotan setelah pernyataannya yang tidak mendukung gerakan penyanderaan yang dilakukan OPM terhadap Pilot Susi Air tersebut.
Ia justru meminta kepada TPNPB-OPM agar Kapten Philip dibebaskan, karena menilai bahwa Selandia Baru bukanlah ancaman bagi Papua Barat.
Seruan ini, sayangnya, justru tidak diindahkan sama sekali oleh kelompok TPNPB-OPM, dengan menyebut bahwa mereka tidak mengakui Benny Wenda sebagai bagian dari mereka.
Ketidakpaduan gerakan separatis ini juga dapat diamati dari banyaknya faksi-faksi dari OPM, yang meskipun arah perjuangannya sama, akan tetapi berbeda dalam hal pendekatan yang dilakukan.
Benny Wenda diketahui sebagai salah satu tokoh yang sangat memperjuangkan kemerdekaan bagi Papua Barat melalui metode-metode diplomatis, seperti melakukan seruan-seruan kepada dunia internasional akan isu HAM Papua.
Akan tetapi, selain perjuangan melalui jalur diplomatik dan propaganda media, gerakan pembebasan Papua Barat diketahui memiliki beberapa sayap kelompok militer yang dipimpin oleh panglima yang berbeda-beda.
Pada Januari 2023 lalu, juru bicara TPNPB-OPM menyebut bahwa pihaknya menolak eksistensi dari kelompok Benny Wenda, Damianus Yogi, dan Manaseh Tabuni, serta menegaskan bahwa pihaknya bukan bagian dari mereka.
Ia bahkan menyebut bahwa Damianus Yogi, Panglima West Papua Army, telah melakukan manipulasi dokumen yang menjadi dasar arah perjuangan mereka.
Hal ini seakan menegaskan bahwa sesungguhnya gerakan perjuangan OPM tidaklah sentralistis, dan bahkan terkesan egosentris.
Ketidaksepahaman antarpemimpin masing-masing kelompok inilah yang seharusnya menjadi bukti bahwa gerakan pembebasan Papua Barat sangat sporadis dan terpecah, layaknya konflik antaretnis yang saling berebut kekuasaan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Mahfud MD, sempat menyampaikan bahwa titik lokasi penyanderaan Kapten Philip sebenarnya sudah ditemukan dan dikepung oleh pasukan TNI-Polri.
Akan tetapi, sebelum ada pergerakan lebih lanjut, Pemerintah Selandia Baru justru datang dan memohon agar tidak ada tindak kekerasan yang dilakukan.
Permohonan ini didasarkan atas kekhawatiran Pemerintah Selandia Baru pada keselamatan jiwa pilot tersebut.
Sudah seharusnya pemerintah dapat menggunakan momen penyanderaan ini, dengan tentunya tambahan justifikasi yang tepat, sebagai momentum untuk dapat membuka mata dunia bahwa gerakan OPM tidaklah didasari atas keinginan kolektif masyarakat Papua untuk merdeka, melainkan oleh ketidakpuasan sebagian kelompok saja.
Selain itu, cara-cara OPM dalam melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat serta penyanderaan terhadap warga asing harus terus digaungkan, agar menutup celah bagi gerakan ini untuk mengembangkan narasi dan mencari dukungan yang lebih luas di dunia internasional.
Upaya dalam memberantas segala bentuk gerakan separatisme tidak selalu harus menggunakan hard approach, akan tetapi juga dengan menghadang segala bentuk upaya mereka dalam meraih dukungan internasional.
Stabilitas wilayah Papua harus tetap dikedepankan, agar masyarakat dapat merasakan manfaat dari pembangunan yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah di wilayah timur Indonesia tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.