Ada sejumlah tindak pidana yang tidak bisa dihukum. Pertama, daya paksa. Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), yang berbunyi, ”Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”. Kata “daya paksa” ini terjemahan dari kata bahasa Belanda overmacht, yang artinya kekuatan atau daya yang lebih besar.
Kedua, daya paksa karena adanya konflik kepentingan. Menurut Moeljatno dalam konflik kepentingan seperti ini, keputusan dari seseorang mengambil tindakan untuk meluputkan dirinya dari bahaya atau kematian tidak dihukum.
Misalnya, si A dan B merebut sebuah papan di laut karena kapal motor tenggelam. Si A misalnya merebut papan dengan menenggelamkan si B demi meluputkan dirinya dari tenggelam di laut. Dalam kasus itu, si A tidak dihukum.
Ketiga, daya paksa saat seseorang terjepit antara kepentingan dan kewajiban. Seorang yang menjalankan kepentingan hanya untuk mempertahan hidupnya atau luput dari bahaya tidak dihukum.
Misalnya, si Polan bepergian jauh dari kampung A ke kampung B. Dalam perjalanan, si Polan haus, maka dia memetik kelapa di kebun C untuk melepas dahaga. Si Polan mengabaikan kewajiban perintah hukum tidak boleh mencuri hanya demi lepas dahaga, maka si Polan tidak bisa atau tidak boleh dihukum.
Keempat, daya paksa yang disebut konflik antara dua kewajiban. Si A misalnya memilih salah satu kewajiban, maka tidak dihukum. Misalnya, pada hari tertentu si A harus menghadiri panggilan polisi di Kota X dan Y. Si A memilih melaksanakan panggilan di Kota X atau Y, tidak bisa dihukum.
Kelima, pembelaan terpaksa (noodweer). Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP yang berbunyi, "Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.
Atau dengan singkat dirumuskan sebagai: Barangsiapa terpaksa melakukan pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri, kehormatan kesusilaan atau harta benda, baik kepunyaan sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.
Contohnya, Putri membunuh pria B karena B berusaha memerkosanya atau melakukan pelecehan suksual terhadapnya. Putri tidak dihukum. Contoh lain, si A memukul B sampai pingsan karena B melecehkan istri A secara seksual, A tidak dihukum.
Baca juga: Kubu Kuat Maruf Nilai Ada Ketidakadilan, Singgung Ringannya Vonis Eliezer
Keenam, melaksanakan undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 50 KUHP yang berbunyi, ”Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Contohnya, polisi yang menembak mati terduga teroris karena si terduga teroris berusaha melawan polisi ketika mau ditangkap.
Ketujuh, melaksanakan perintah jabatan dan/atau atasan. Hal ini diatur dalam Pasal 51 KUHP. Pasal 51 ayat (1) KUHP berbunyi, ”Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
Pasal 51 ayat (2) KUHP berbunyi, ”Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.
Mari kita menduga, Barada E melakukan penembakan karena takut. Kalau tidak menembak Brigadir J, dia akan ditembak FS, sehingga kita golongan perbuatannya menembak Brigadi J pada poin pembelaan terpaksa (noodweer). Dalam kasus itu, Riky Rizal Wibowo menolak perintah FS dan dia tidak diapa-apakan oleh FS. Bukankah Bharada E menembak juga karena diimingi uang Rp 1 miliar dari FS?
Jika kita masukan tindakan Bharada E menembak Brigadir J karena melaksanakan perintah jabatan dan/atau perintah atasan, tentu tidak bisa dibenarkan. Karena perintah jabatan dan/atau perintah atasan itu harus perintah yang legal atau halal. Brigadir J adalah polisi, teman Bharada E, ajudan FS.
Bharada E dinilai jujur, tetapi kejujurannya setelah dia ditetapkan jadi tersangka. Kejujurannya mestinya dihargai dengan tidak menghukumnya dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, tetapi dihukum 15 tahun sudah sesuai dengan perbuatannya.
Karena Barada E dihukum ringan, lalu muncul dan menyebar stiker di grup-grup WA yang berbunyi, ”Yang nembak (dengan foto Barada E) dihukum 1 tahun 6 bulan penjara, yang nolak menembak (dengan foto Riky Rizal Wibowo) 13 tahun penjara, yang cuman liat doang (dengan foto Kuat Ma’ruT) 15 tahun penjara”.
Menurut saya, majelis hakim PN Jakarta Selatan dalam memutus perkara tersebut telah terpengaruh oleh tekanan masyarakat. Hakim sebagai “Wakil Tuhan” seharusnya independen. Keindependenan hakim tentu untuk kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, tidak sekadar memuaskan rasa keadilan masyarakat yang mayoritas tidak paham hukum.
Kalau hakim independen dan memutus perkara sesuai ketentuan hukum maka tujuan hukum untuk ketertiban masyarakat tercapai.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.