Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hanif Sofyan
Wiraswasta

Pegiat literasi di walkingbook.org

Pantaskah Ferdy Sambo Dituntut Hukuman Penjara Seumur Hidup?

Kompas.com - 18/01/2023, 05:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAK kurang dari 50,3 persen aspirasi masyarakat Indonesia menghendaki hukuman mati untuk terdakwa Ferdy Sambo, otak atau dalang utama pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Josua Hutabarat.

Sementara yang menghendaki penjara seumur hidup, hanya sekitar 37 persen saja, sebagaimana tergambar dalam survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Agustus 2022 lalu.

Namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Selasa (17/01/23), menuntut Ferdy Sambo dengan hukuman penjara seumur hidup karena dinilai telah terbukti secara meyakinkan melanggar Pasal 340 juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Menurut pasal 12 ayat (1) KUHP, yang dimaksud dengan pidana penjara seumur hidup adalah penjara selama terpidana masih hidup hingga meninggal.

Keyakinan JPU, didasarkan pada temuan fakta, saksi, dan bukti yang tersaji selama proses persidangan yang sudah berlangsung lebih dari dua bulan, sejak Desember 2022.

Keyakinan yang mendasari keputusan itu bahwa Ferdy Sambo ikut melakukan penembakan dengan sasaran kepala korban yang tembus hingga hidung dan menjadi penyebab utama kematian Brigadir Josua.

Fakta yang meski berusaha ditutupi Sambo, namun tidak sinkron dengan kesaksian Bharada Richard Eliezer yang menguatkan dugaan itu sejak awal kasus bergulir.

Termasuk bukti balistik, kesaksian Ricky Riza dan Kuat Ma'ruf yang meragukan karena dipenuhi dengan banyak kejanggalan.

Kasus kolosal Polri

Mantan Kabareskrim Susno Duadji mengatakan bahwa kasus Sambo semestinya bisa ditangani setingkat polsek dalam urusan membongkar apakah jenis pembunuhan biasa (pasal 338) atau pembunuhan berencana (pasal 340).

Hanya karena melibatkan Sambo, jenderal bintang dua mantan Kadiv Propam membuat faktor psikologis internal Polri terbawa-bawa dan membuat kasusnya rumit dan berlarut-larut.

Kasus ini membuat citra insitusi Polri yang tengah melakukan reformasi besar-besaran melalui Polri Presisi jatuh di titik nadir dan memiliki konsekuensi jangka panjang dinilai publik sebagai institusi yang tidak dapat dipercaya.

Selama persidangan berlangsung, Sambo menunjukkan gelagat buruk sebagai pelaku utama kasus, dan mantan petinggi Polri yang merupakan “kepalanya para pengadil polisi”, namun sama sekali tak memberikan contoh baik.

Bahkan menciptakan preseden dengan menggunakan pengaruhnya menyeret para bawahan maupun yang berada dalam struktur kekuasannya melakukan obstruction of justice, merintangi jalannya penyidikan dengan menghilangkan barang bukti serta merekayasa kasus.

Namun banyak pihak yang merasa bahwa tuntutan hukuman penjara seumur hidup yang diminta JPU kepada Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin oleh Hakim Wahyu Iman Santoso, tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Apalagi Sambo terbukti dengan sangat meyakinkan melakukan pembunuhan berencana.

Senjata makan tuan

Fakta tentang motif sebagai pemicu utama juga diragukan karena Sambo terus mendorong skenario adanya pelecehan seksual yang dipenuhi dengan banyak kejanggalan.

Terutama ketersediaan bukti pendukung yang dapat meyakinkan hakim dan publik bahwa benar telah terjadi kejahatan pelecehan atau perkosaan.

Padahal dengan pengalaman puluhan tahun, Sambo menyadari kunci tersebut sangat vital.

Begitu juga dengan kesaksian Putri Candrawathi yang dianggap melakukan “relabeling”, sehingga memosisikan diri sebagai korban dalam setiap kesaksiannya.

Ferdy Sambo juga dianggap membunuh Brigadir Josua secara sadis, tanpa didahului dengan klarifikasi. Hal ini juga mengindikasikan adanya kejanggalan lain yang berusaha ditutupi.

Apalagi Sambo menyadari apa konsekuensinya ketika melakukan tindakan main hakim sendiri tanpa mengikuti prosedur.

Bahwa sebagai petugas penindak hukum dan dengan pemahamannya yang rigid tentang segala aturan, menjadi poin yang semakin memberatkannya sebagai terdakwa.

Dengan jabatan dan pangkatnya serta kekuasaanya tersebut, Sambo justru memerintahkan anak buahnya untuk menyembunyikan kejahatan melalui rekayasa kasus melalui skenario yang penuh kecurangan.

Beruntung banyak sekali kejanggalan yang kemudian terkuak karena faktor kecanggihan digital forensik, ketidaksesuaian dengan logika publik dan dukungan bukti-bukti yang tidak terbantahkan, namun luput dari rencana matang Sambo.

Bahkan keteledoran Sambo merancang skenario bodong di Duren Tiga menggunakan whatApps membuatnya sama sekali tak berkutik dan mengakui skenario pertama.

Namun ia melakukan rekayasa kedua dengan mengalihkan kejadian pelecehan menjadi kasus di Magelang. Itupun berganti-ganti dari pelecehan, dan pada akhirnya menjadi perkosaan. Fakta yang membuatnya tersudut sendiri atas rekayasanya.

Sepandai-pandai tupai melompat sesekali akan jatuh juga, dan Sambo mengalaminya sendiri meski berpengalaman lama sebagai Kadiv Propam.

Sejatinya selama persidangan berlangsung, meski Sambo berusaha berkilah dengan mendorong bukti dan saksi, namun logika pikirnya jauh dari sinkronisasi antara kasus dan bukti.

Dan kebenaran logika publik itu terbukti dalam persidangan kasus pembunuhan berencana Brigadir Josua.

Memenuhi keadilan

Pada akhirnya Ferdy Sambo diyakini JPU telah terbukti dan meyakinkan menjadi dalang dan otak dari tindak pidana pembunuhan berencana.

Selain sebagai dalang pembunuhan berencana, Sambo mengorkestrasi anak buahnya untuk melakukan kejahatan lain, yakni obstruction of justice untuk menutupi kejahatan utamanya.

Sambo melakukan dua kejahatan sekaligus, mendalangi pembunuhan berencana dan menjadi pelakunya.

Ironisnya, dalam setiap kejahatan yang dilakukannya, Ferdy Sambo menyeret pihak lain yang sebenarnya tak berhubungan langsung dengan masalah yang memicu terjadinya tindak pidana pembunuhan berencana tersebut. Sambo menyeret para perwira dan bawahannya dalam skenario menutupi kejahatannya.

Kasus ini menjadi simulakra bagi Polri, karena menciptakan persepsi publik bahwa Polri adalah institusi yang tidak lagi bersih dan dianggap memiliki relasi dengan berbagai jaringan kejahatan yang semestinya harus diberantasnya. Baik jaringan 303, maupun kejahatan lainnya.

Dengan paket kejahatan lengkap yang dilakukan Ferdy Sambo, maka sejatinya hukuman yang pantas baginya adalah hukuman mati (pasal 340). Hukuman penjara seumur hidup akan menjadi preseden buruk penegakan hukum.

Namun itulah tuntutan JPU terhadap terdakwa Ferdy Sambo yang sementara ini harus kita terima, karena masih ada tahapan lanjutan untuk pembelaan atau pledoi.

Sekarang kita tunggu keputusan hakim dalam beberapa pekan ke depan, apakah akan menjatuhkan vonis mati sesuai aspirasi kebanyakan masyarakat, atau sama dengan tuntutan JPU.

Meski akan sulit diterima masyarakat dan keluarga korban jika Majelis Hakim memvonis Ferdy Sambo dengan hukuman di bawah tuntutan JPU.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

Nasional
Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Nasional
Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Nasional
Mensos Risma Janjikan 3 Hal kepada Warga Kabupaten Sumba Timur

Mensos Risma Janjikan 3 Hal kepada Warga Kabupaten Sumba Timur

Nasional
SYL Renovasi Rumah Pribadi, tapi Laporannya Rumah Dinas Menteri

SYL Renovasi Rumah Pribadi, tapi Laporannya Rumah Dinas Menteri

Nasional
Jaksa KPK Sebut Nilai Total Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh Capai Rp 62,8 M

Jaksa KPK Sebut Nilai Total Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh Capai Rp 62,8 M

Nasional
Ratas Evaluasi Mudik, Jokowi Minta 'Rest Area' Diperbanyak

Ratas Evaluasi Mudik, Jokowi Minta "Rest Area" Diperbanyak

Nasional
Dugaan TPPU Hakim Gazalba Saleh: Beli Alphard, Kredit Rumah Bareng Wadir RSUD di Jakarta

Dugaan TPPU Hakim Gazalba Saleh: Beli Alphard, Kredit Rumah Bareng Wadir RSUD di Jakarta

Nasional
Anggota Bawaslu Intan Jaya Mengaku Disandera KKB Jelang Pemilu, Tebus Ratusan Juta Rupiah agar Bebas

Anggota Bawaslu Intan Jaya Mengaku Disandera KKB Jelang Pemilu, Tebus Ratusan Juta Rupiah agar Bebas

Nasional
Dalam Sidang MK, KPU Ungkap Kontak Senjata TNI-OPM Jelang Hitung Suara, Satu Warga Sipil Tewas

Dalam Sidang MK, KPU Ungkap Kontak Senjata TNI-OPM Jelang Hitung Suara, Satu Warga Sipil Tewas

Nasional
Sinyal Kuat Eko Patrio Bakal Jadi Menteri Prabowo

Sinyal Kuat Eko Patrio Bakal Jadi Menteri Prabowo

Nasional
Yakin 'Presidential Club' Sudah Didengar Megawati, Gerindra: PDI-P Tidak Keberatan

Yakin "Presidential Club" Sudah Didengar Megawati, Gerindra: PDI-P Tidak Keberatan

Nasional
Taruna STIP Meninggal Dianiaya Senior, Menhub: Kami Sudah Lakukan Upaya Penegakan Hukum

Taruna STIP Meninggal Dianiaya Senior, Menhub: Kami Sudah Lakukan Upaya Penegakan Hukum

Nasional
Gejala Korupsisme Masyarakat

Gejala Korupsisme Masyarakat

Nasional
KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com