Ketiganya adalah korban langsung, korban tidak langsung dan orban yang tidak teridentifikasi (unidentified victims).
Kategori korban menunjukkan bahwa terdapat korban yang sesungguhnya berasal dari komunitas yang sama sekali tidak terkait dengan konflik maupun isu politik yang ada di balik suatu peristiwa.
Baca juga: Kontras Khawatir Pengakuan Jokowi soal Pelanggaran HAM Berat Berakhir di Jalur Non-yudisial
Laporan Tim PPHAM ini dilakukan berdasarkan pengumpulan data melalui tiga metode yakni studi dokumen, kelompok diskusi terpumpun (focus group discussion) dengan pelbagai pihak antara lain korban dan/atau keluarga korban, pendamping korban dan/atau lembaga swadaya masyarakat, para pakar, dan pihak-pihak lainnya yang dianggap perlu dalam mendapatkan data; dan pertemuan formal/informal dengan dengan pelbagai organisasi kemasyarakatan, unsur lembaga negara dan alat kelengkapan negara, maupun unsur- unsur forum komunikasi pimpinan daerah.
Laporan Tim PPHAM ini sudah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023).
Presiden mengatakan, dirinya sudah secara seksama membaca laporan tersebut.
Dari laporan yang diberikan oleh PPHAM, Presiden mengakui bahwa pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ujar Jokowi dalam keterangannya usai menerima laporan.
"Dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada 12 peristiwa," lanjutnya.
Kepala Negara kemudian merinci 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang dimaksud. Keduabelas peristiwa terjadi dalam rentang waktu sejak 1965 hingga 2003. Berikut rinciannya:
1) Peristiwa 1965-1966.
2) Peristiwa Penembakan Misterius (petrus) 1982-1985.
3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989.
4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989.
5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.
6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.