BOM bunuh diri lagi. Ya, kita katakan "lagi", karena bukan kali pertama terjadi di negeri ini. Serangan bom bunuh diri di Bali, pada 12 Oktober 2012, menjadi yang pertama.
Setelah itu, terjadi beberapa kali serangan bom bunuh diri. Barangkali yang paling fenomenal adalah serangan bom bunuh diri pada hari Minggu, 13 Mei 2018. Serangan itu dilakukan oleh satu keluarga: suami-istri dan melibatkan empat anaknya, yang paling kecil baru berusia 9 tahun!
Maka, ketika Rabu (7/11) pagi, tersiar berita ada serangan bom bunuh diri di Bandung, kesimpulan cepat yang muncul adalah bom bunuh diri akan terus menjadi gangguan keamanan yang berbahaya di masa mendatang, di negeri ini.
Mungkin, terlalu tergesa-gesa membuat kesimpulan semacam itu. Tetapi, apa yang terjadi di Polsek Astanaanyar, Bandung menegaskan hal tersebut.
Pertama, ledakan terjadi setelah pelaku masuk kompleks polsek menunjukkan bahwa mereka bisa dengan mudah melakukannya di tempat yang semestinya aman.
Artinya, beraksi di tempat lain yang lebih longgar pengamanannya sangat bisa mereka lakukan.
Kedua, serangan itu memberikan gambaran bahwa ada orang yang memiliki nyali sangat tinggi: menerobos masuk kantor polisi. Ini merupakan aspek penting dari proses organisasi bom bunuh diri. Dan, bisa jadi orang seperti itu tidak hanya satu (semoga tidak).
Ketiga, menurut informasi yang beredar, pelaku adalah mantan napiter (narapidana terorisme), yang tahun 2017 dihukum 4 tahun karena terlibat perakitan bom.
Artinya, masa hukuman empat tahun tidak membuatnya, katakanlah menyesal atau bertobat atau menghentikan aktivitasnya, tapi justru sebaliknya. Bagaimana dengan yang lain?
Mengapa memilih bom bunuh diri? Kata para ahli terorisme bunuh diri dari Universitas Haifa, Ami Pedahzur (2005), serangan bom bunuh diri terjadi karena mereka percaya bahwa bom bunuh diri adalah instrumen efektif untuk mewujudkan tujuan mereka, baik politik maupun ideologis.
Seorang pengebom bunuh diri, jauh lebih berbahaya dan jauh lebih sulit untuk dilawan dibanding senjata lainnya, rudal misalnya.
Tembakan rudal bisa dicegat. Sistem senjata manusia ini dapat berubah setiap saat, bahkan pada menit-menit terakhir, tergantung situasi dan kondisi lapangan: memungkinkan atau tidak, misalnya.
Maka, bom bunuh diri adalah alat yang ideal untuk seorang teroris. Pengebom dapat memilih saat yang tepat untuk meledakkan perangkat mereka dan tidak memerlukan rencana pelarian--karena tewas juga.
Inilah serangan yang "low-cost, high-impact" yang memungkinkan teroris membunuh korban dalam jumlah besar. Karena itu, polisi Inggris menyebut pelaku bom bunuh diri sebagai "penyerang yang mematikan dan gigih."
Kata ahli terorisme dari University of Texas at Austin, Susanne Martin (2020), orang yang menjadi pengebom bunuh diri bertindak seperti guided missiles dengan kemampuan mengindentifikasi waktu dan tempat yang akan menjadi sasaran untuk memaksimalisasi teror serangan.