Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Trias Kuncahyono
Wartawan dan Penulis Buku

Trias Kuncahyono, lahir di Yogyakarta, 1958, wartawan Kompas 1988-2018, nulis sejumlah buku antara lain Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir; Turki, Revolusi Tak Pernah Henti; Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir; Kredensial, Kearifan di Masa Pagebluk; dan Pilgrim.

Bom Bunuh Diri, Lagi

Kompas.com - 08/12/2022, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BOM bunuh diri lagi. Ya, kita katakan "lagi", karena bukan kali pertama terjadi di negeri ini. Serangan bom bunuh diri di Bali, pada 12 Oktober 2012, menjadi yang pertama.

Setelah itu, terjadi beberapa kali serangan bom bunuh diri. Barangkali yang paling fenomenal adalah serangan bom bunuh diri pada hari Minggu, 13 Mei 2018. Serangan itu dilakukan oleh satu keluarga: suami-istri dan melibatkan empat anaknya, yang paling kecil baru berusia 9 tahun!

Maka, ketika Rabu (7/11) pagi, tersiar berita ada serangan bom bunuh diri di Bandung, kesimpulan cepat yang muncul adalah bom bunuh diri akan terus menjadi gangguan keamanan yang berbahaya di masa mendatang, di negeri ini.

Mungkin, terlalu tergesa-gesa membuat kesimpulan semacam itu. Tetapi, apa yang terjadi di Polsek Astanaanyar, Bandung menegaskan hal tersebut.

Pertama, ledakan terjadi setelah pelaku masuk kompleks polsek menunjukkan bahwa mereka bisa dengan mudah melakukannya di tempat yang semestinya aman.

Artinya, beraksi di tempat lain yang lebih longgar pengamanannya sangat bisa mereka lakukan.

Kedua, serangan itu memberikan gambaran bahwa ada orang yang memiliki nyali sangat tinggi: menerobos masuk kantor polisi. Ini merupakan aspek penting dari proses organisasi bom bunuh diri. Dan, bisa jadi orang seperti itu tidak hanya satu (semoga tidak).

Ketiga, menurut informasi yang beredar, pelaku adalah mantan napiter (narapidana terorisme), yang tahun 2017 dihukum 4 tahun karena terlibat perakitan bom.

Artinya, masa hukuman empat tahun tidak membuatnya, katakanlah menyesal atau bertobat atau menghentikan aktivitasnya, tapi justru sebaliknya. Bagaimana dengan yang lain?

Paling efektif

Mengapa memilih bom bunuh diri? Kata para ahli terorisme bunuh diri dari Universitas Haifa, Ami Pedahzur (2005), serangan bom bunuh diri terjadi karena mereka percaya bahwa bom bunuh diri adalah instrumen efektif untuk mewujudkan tujuan mereka, baik politik maupun ideologis.

Seorang pengebom bunuh diri, jauh lebih berbahaya dan jauh lebih sulit untuk dilawan dibanding senjata lainnya, rudal misalnya.

Tembakan rudal bisa dicegat. Sistem senjata manusia ini dapat berubah setiap saat, bahkan pada menit-menit terakhir, tergantung situasi dan kondisi lapangan: memungkinkan atau tidak, misalnya.

Maka, bom bunuh diri adalah alat yang ideal untuk seorang teroris. Pengebom dapat memilih saat yang tepat untuk meledakkan perangkat mereka dan tidak memerlukan rencana pelarian--karena tewas juga.

Inilah serangan yang "low-cost, high-impact" yang memungkinkan teroris membunuh korban dalam jumlah besar. Karena itu, polisi Inggris menyebut pelaku bom bunuh diri sebagai "penyerang yang mematikan dan gigih."

Kata ahli terorisme dari University of Texas at Austin, Susanne Martin (2020), orang yang menjadi pengebom bunuh diri bertindak seperti guided missiles dengan kemampuan mengindentifikasi waktu dan tempat yang akan menjadi sasaran untuk memaksimalisasi teror serangan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin Jika Menjanjikan

Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin Jika Menjanjikan

Nasional
Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Nasional
Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com