Pada saat periode penularan varian Delta, puncaknya terjadi ketika varian tersebut sudah menguasai 90 persen populasi keseluruhan varian yang ada.
"Setelah itu lalu (penularan) menurun," ujar Budi.
Lalu, saat periode penularan Omicron, puncak penularan terjadi saat varian tersebut juga telah menguasai lebih dari 90 populasi keseluruhan varian yang ada.
"XBB yang saat ini ada di 80 persen dari populasi varian yang ada. Itu ciri-cirinya, karena dia sudah jenuh," kata Budi.
"Itu adalah ciri-ciri mereka jenuh nanti akan turun. Itu sebabnya kita beda peramal naik turun lain berdasarkan data positivity secara empiris kita lihat ke belakang dan data varian genomic secara satu minggu dan dua minggu akan turun," ucap dia.
Baca juga: UPDATE 29 November: Kasus Covid-19 Bertambah 5.766 dalam Sehari, Totalnya Jadi 6.659.235
Adapun berdasarkan data Covid-19 yang dilaporkan Satgas Penanganan Covid-19 per 30 November 2022, positivity rate Covid-19 secara harian tercatat sebesar 13,38 persen.
Sementara itu, untuk positivity rate mingguan untuk periode 20-26 November 2022 tercatat sebesar 20,86 persen.
Sebelumnya, epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman memprediksi, tren kenaikan Covid-19 masih akan berlangsung beberapa waktu ke depan.
Oleh karena banyaknya subvarian baru Omicron yang menyebar, Dicky memprediksi, lonjakan kasus virus corona bakal terjadi hingga akhir Januari 2023.
"Sangat mungkin naik hingga Januari 2023, karena juga saat ini gelombang yang terjadi disebabkan lebih dari satu subvarian," kata Dicky pada 17 November lalu.
Selain subvarian baru Omicron, menurut Dicky, peningkatan kasus Covid-19 bakal diperparah dengan libur panjang Natal dan Tahun Baru yang sebentar lagi berlangsung.
Baca juga: Sembuh dari Covid-19, Putri Candrawathi Hadiri Sidang di PN Jakarta Selatan
Dicky menduga, angka kasus yang dicatat oleh Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 saat ini jauh lebih sedikit dari kasus sebenarnya di masyarakat.
Bahkan, sangat mungkin kasus harian Covid-19 di Indonesia sebenarnya tembus angka 50.000.
Penyebabnya tidak hanya subvarian baru Omicron, melainkan juga mobilitas masyarakat yang tinggi dibarengi dengan lemahnya deteksi kasus, penurunan protokol kesehatan, dan buruknya cakupan vaksinasi booster.