"Saya ulang. Jadi, pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan dari penampilannya, dari kerutan di wajahnya. Kalau wajahnya cling, bersih, tidak ada kerutan di wajahnya hati-hati. Lihat juga, lihat rambutnya kalau putih semua 'wah mikir rakyat ini'," bebernya.
Begitu juga ketika menyebut “kode” istana. Selanjutnya Jokowi menambahkan, "Jangan pilih sosok yang hanya senang duduk di istana. Jangan sampai, jangan sampai...kita memilih pemimpin yang nanti hanya senangnya duduk di istana yang AC-nya dingin. Jangan sampai, saya ulang, jangan sampai kita memilih pemimpin yang senang duduk di istana yang AC-nya sangat dingin," ungkap Jokowi.
Ketika menyebut sinyal ini seolah Jokowi tak lagi punya beban politik, seperti harus manjaga unggah-ungguh kepada siapa.
Di balik narasi politiknya yang santai, Jokowi sebenarnya sedang bermain “pesan telik sandi”, melempar tanda-tanda yang mudah ditafsirkan secara politik, tapi bikin para rival berkeringat dingin seketika.
Ini adalah pesan semiotika. Rasanya tak perlu mengundang pakar pembaca pesan, atau ahli sandi rahasia, ahli pembaca mimik wajah, karena semiotika umumnya digunakan untuk membedah pertanda, bisa saja berupa simbol, atau ikon, bisa juga digunakan untuk menafsirkan bacaan komunikasi verbal maupun non-verbal.
Tapi ketika Jokowi melemparkan dua sinyal, “istana dan rambut putih” kepada ribuan relawannya, itu seperti memberi “pesan langsung”, bahwa pemimpin dari istana yang dimaksud adalah penguasa elite yang meskipun berusaha merakyat akan terlihat dari caranya yang terlalu formalitas dan dipaksakan. Sehingga ketika merakyat, justru makin tidak popular.
Begitu juga ketika mengatakan pertanda agar wanti-wanti dengan pemimpin yang “cling”, berwajah tanpa kerutan, memasang wajah senang tanpa sedikitpun ada tekanan di garis wajahnya.
Seperti kata Jokowi secara tidak langsung sebagai pertanda pemimpin yang tidak pernah memikirkan rakyatnya. Siapapun boleh berbeda pendapat dan tidak setuju, tapi sinyal itulah yang coba dimainkan Jokowi melalui pesan semiotikanya itu.
Dengan mudah akan diarahkan pada siapa, tentu saja akan mudah ditebak. Inilah enak dan serunya ketika “pesan anonim” dilempar ke publik dengan tanda yang mudah dikenali.
Ketika tafsir publik dengan cepat mengarah kepada rival politik lain, bisa saja dengan mudah Jokowi akan berkata, “bukan saya lho yang bilang begitu, tapi kalian sendiri yang menafsirkan”.
Kurang lebih seperti pernah di bilang Jokowi saat memberi kode keras untuk Prabowo. "Ya diartikan sinyal ya boleh tapi kan saya ngomong juga nggak apa-apa," kata Jokowi.
Sinyal kuat itu sangat membantu para relawan Jokowi untuk bertindak di lapangan. Kepada siapa dua pesan Jokowi itu hendak diarahkan, dan siapa sebenarnya yang menjadi pilihan Jokowi dalam Pilpres 2024 mendatang.
Apalagi kemarin menjadi teka-teki, dan menjadi diskursus agar Jokowi fokus saja menyelesaikan tugas kepresidenannya daripada mengurusi politik pilpres 2024.
Karena pesan itu dengan mudah dapat diterima oleh relawan Jokowi yang kelak juga dapat menjadi relawan baru bagi dua tokoh yang menjadi pilihan Jokowi.
Dukungan Jokowi pada Pilpres ke depan, setidaknya mengarah dua tokoh, yakni Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, lantaran kedua tokoh tersebut dianggap loyal dan komitmen terhadap program Jokowi yang berkepentingan dengan legacy hasil kerja dan kepemimpinannya.