Bagi politisi, pencitraan itu perlu untuk menumpuk dukungan dari publik. Tentu pencitraan dilakukan atas dasar strategi politik rasional. Bukan like and dislike yang membuat politisi memilih dimana harus pencitraan.
Jika ini terjadi, arus dukungan perlahan surut dan merugikan politisi untuk bersaing dalam Pemilu. Sehingga sudah menjadi kewajiban bagi politisi untuk tetap mencitrakan dirinya dalam kondisi apapun.
Di satu sisi proses pencitraan ini tidak sekadar untuk menjalankan strategi partai. Bagi perempuan pencitraan adalah momentum untuk menampilkan perbedaan di depan publik.
Politisi perempuan perlu untuk menampilkan logika baru agar publik tertarik dengan kemasan pencitraan ala perempuan.
Mungkin metode politisi perempuan lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Asalkan logika jangan ditinggalkan karena akan jadi bumerang bagi perempuan.
Sisi ke-Ibuan bisa perempuan pergunakan untuk “merayu” dan mendekatkan diri kepada masyarakat.
Selama ini mungkin sosok “ayah” sering memberikan kekecewaan. Sehingga momentum ini butuh sosok “ibu” untuk mengembalikan jalan keluarga ke arah yang lebih baik.
Butuh perempuan-perempuan tangguh untuk memperjuangkan haknya. Seperti Maud Watts yang hebat memanfaatkan keadaan agar perjuangan dan aspirasinya dapat didengar.
Artinya bahwa logika dalam memperjuangkan hak perlu bagi politisi perempuan. Agar mengerti keadaan seperti apa yang layak untuk menyelipkan kepentingan matriarki.
Butuh ketegasan dan ketepatan agar perjuangan perempuan tidak sekedar memenuhi kuota 30 persen. Perempuan harus menjadi oposisi dalam dominasi laki-laki agar peta pikiran lebih variatif dan tidak monoton.
Kita butuh suara perempuan dalam parleman karena secara psykologis perempuan lebih detail dalam menangkap keadaan masyarakat. Perempuan adalah makhluk multitasking dan bisa menyampaikan banyak hal dalam waktu bersamaan secara detail.
Kita tahu akhir-akhir ini kekuatan perempuan dalam parleman mulai nyaring disuarakan. Ini tentu bagus bagi perkembangan demokrasi kita.
Agar peta budaya politik kita tidak hanya milik laki-laki atau hanya milik partai dengan ketua umumnya laki-laki. Harus ada transformasi baik itu di parlemen atau partai politik.
Sehingga kita tidak bosan menonton dinamika politik nasional yang hanya itu-itu saja. Kita perlu chanel lain agar lebih terhibur dan inspiratif.
Kita perlu menonton lagi Kartini-Kartini baru di republik ini menyuarakan gagasannya dan kepentingannya. Menampilkan sisi ke-ibuan dalam konteks demokrasi yang dibangun oleh laki-laki.
Perempuan harus jadi ujung tombak untuk mengubah alur pemilu sehingga dominasi patriarki perlahan butuh istirahat dan refleksi.
Tidak ada yang tahu, mungkin saja pembangunan yang didasarkan pada logika perempuan lebih aktual dan cocok dengan masyarakat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.