PENGESAHAN Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang terjadi beberapa hari lalu bak menjadi pisau bermata dua.
Pada satu sisi, pasal-pasal yang ada di dalam regulasi menjadi angin segar bagi publik yang resah dengan pencurian hingga penjualan data pribadi kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Namun di sisi lain, upaya sosialisasi mengenai UU ini perlu dilakukan secara masif.
Hal ini terlihat dari data yang dilansir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada survei tahun 2021 yang memperlihatkan bahwa hanya 48,8 persen dari 11.305 responden yang mengetahui tentang UU PDP.
Melihat hal ini, apa yang dapat dilakukan pemerintah agar UU PDP menjadi langkah serentak bangsa di dalam menanggulangi kebocoran data pribadi?
Pemerintah harus paham bahwa kebocoran data pribadi sudah jauh terjadi sebelum regulasi ini disahkan oleh DPR-RI.
Dalam beberapa kasus, kejahatan bersumber pada kebocoran data Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai pintu masuk di dalam mengakses beberapa layanan publik.
Pintu masuk ini didukung oleh pembangunan aplikasi-aplikasi pemerintah yang mayoritas meminta NIK di dalam mengakses layanan publik.
Problem ini yang kemudian menjadikan keamanan data NIK dan akses internet masyarakat dapat dibobol oleh hacker seperti Bjorka.
Persoalan ini kemudian ditanggapi oleh para pengambil kebijakan dengan statement bahwa masyarakat harus melindungi data pribadi secara mandiri dengan melakukan perubahan one-time password secara berkala.
Fakta-fakta ini memperlihatkan besarnya gap kebijakan UU PDP pada ranah pelaksanaan, bukan pada wilayah perumusan regulasi. Sehingga, seharusnya ada penerjemahan yang lebih nyata atas UU PDP. Lalu, bagaimana hal itu diwujudkan?
Perlu diketahui bahwa regulasi hanyalah kerangka awal dari implementasi kebijakan publik. Langkah selanjutnya dari implementasi kebijakan adalah bagaimana sebuah aturan diletakkan pada sebuah konteks seperti di mana dia diterapkan dan karakter masyarakat seperti apa yang dibawanya.
Dalam hal ini, penerapan UU PDP tentu berbeda dengan daerah-daerah yang sudah menerapkan konsep smart city dengan daerah yang internet saja masih kesulitan. Artinya, pekerjaan rumah pemerintah belum selesai dengan hanya dirumuskannya UU PDP.
Pemerintah harus mampu membumikan UU PDP agar dipahami masyarakat. Sebagai contoh, kita sudah memiliki aturan mengenai korupsi, namun nyatanya masih banyak yang melanggar.
Hal ini bisa jadi tidak hanya karena persoalan cacat moral, namun juga kealpaan dalam memahami regulasi korupsi.
Tindakan-tindakan seperti ini bukan tidak mungkin terjadi lagi. Barangkali, kita masih ingat bagaimana hacker-hacker daerah pernah melakukan peretasan data pribadi untuk mengancam, melakukan spam, dan menipu.
Dalam konteks ini, perlindungan data pribadi justru menjadi bumerang karena yang dilindungi justru berbalik arah melakukan kriminalitas atas regulasi.
Maka dari itu, pemerintah harus terus melakukan kampanye atas UU PDP. Kampanye dari UU PDP harus seimbang antara pembangunan aplikasi yang nantinya mungkin mampu melakukan saringan informasi pribadi dan aspek inovasi sosial.
Jika pengawalan aplikasi berbicara mengenai software, maka pengawalan inovasi sosial menekankan soal hardware seperti literasi digital, literasi informasi, dan kontrol norma sosial di dalam perlindungan data pribadi.
Kampanye ini perlu dilakukan terus menerus agar aplikasi yang dibangun kompatibel dengan standar moral yang ingin diciptakan.
Jika hal itu mampu dibangun, maka penerjemahan UU PDP dapat dilakukan secara menyeluruh, baik secara mikro maupun makro.
Secara makro, UU PDP mampu memberikan efek jera kepada para penyintas informasi pribadi. Namun secara mikro, UU PDP harusnya mampu mengurangi jumlah orang yang terjegal karena kasus data pribadi.
Aspek keberlanjutan ini yang perlu didorong oleh pemerintah. Mindset yang berubah bahwa regulasi dibuat untuk mengubah perilaku, bukan menghukum siapa yang berperilaku nyeleneh atas regulasi.
Regulasi bukan diarahkan kepada banyaknya orang terkena kasus lalu dihukum, namun lebih kepada awareness masyarakat terhadap subyek yang dibawah oleh regulasi.
Kepekaan ini yang kemudian membuat masyarakat lebih berhati-hati di dalam penguasaan data pribadi.
Dengan demikian, regulasi UU PDP nantinya mampu menaikkan status sosial masyarakat Indonesia secara umum, yaitu masyarakat yang melek teknologi, peka terhadap informasi, dan memiliki standar moral dan sosial terhadap data.
Sekiranya kedua aspek tersebut mampu didorong oleh pemerintah. Aspek sosial dan keberlanjutan sangat penting karena digitalisme akan selalu menjadi platform pembangunan dunia ke depan.
Ditambah dengan isu-isu mengenai identitas di dalam lingkup global, maka isu mengenai data pribadi wajib menjadi tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat.
UU PDP tentu menjadi harapan besar bagi publik di tengah keresahan mendalam terkait data pribadi.
Maka, isu yang harus direspons secara cepat ini harus dijawab dengan tidak hanya keakuratan dan ketepatan perumusan aturan perlindungan data pribadi, namun juga pelaksanaannya.
Bagaimana kita menjaga data pribadi baik di level individu maupun organisasi akan menjadi ujian kedaulatan, keutuhan, dan kemerdekaan kita sebagai bangsa dan negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.