JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan, bisa jadi kasus pembunuhan Munir menjadi kasus pelanggaran HAM berat pertama di Indonesia dengan korban satu orang.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, jika ditetapkan menjadi pelanggaran HAM berat, kasus pembunuhan Munir adalah terobosan hukum di Indonesia khususnya dalam penegakan pelanggaran HAM.
"Ini langkah terobosan hukum dan kita punya argumentasi yang kuat (untuk menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat)," kata Taufan dalam keterangan tertulis, Rabu (7/9/2022).
Baca juga: Komnas HAM Tunjuk Usman Hamid Jadi Anggota Tim Ad Hoc Penyelidikan Kasus Munir
Taufan mengatakan, Komnas HAM saat ini sudah membentuk tim Ad Hoc untuk menetapkan kasus Munir sebagai kasus pelanggaran HAM berat.
Argumen terkait kasus pelanggaran HAM berat, kata Taufan, sudah disusun sesuai dengan temuan tim penyelidik yang sebelumnya sudah dibentuk Komnas HAM.
"Salah satunya juga memang mendiskusikan mengenai argumentasi hukum manakala kasusnya seperti yang dialami oleh saudara Munir, satu orang, bagaimana itu bisa disebut sebagai dugaan pelanggaran HAM berat, sudah ada, argumentasinya sudah dibuat," ucap dia.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Menuju Kedaluwarsa Kasus Kematian Munir
Di tempat yang sama, Komisioner Komnas HAM bidang Penelitian Sandrayati Moniaga menjelaskan, argumen kasus pelanggaran HAM berat di kasus pembunuhan Munir diambil dari dokumen pengadilan kejahatan internasional atau International Criminal Court.
"Dalam dokumen international criminal court (korban pelanggaran HAM berat) bisa individu atau komunitas," kata Sandra.
Basis dokumen tersebut, kata Sandra, bisa digunakan sebagai argumen untuk menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat.
Penetapan pelanggaran HAM berat untuk kasus Munir juga dinilai tak bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia.
Baca juga: Kasus Munir yang Segera Kedaluwarsa Diharap Tak Jadi Tameng Impunitas Aktor Intelektual
"Karena memang Undang-Undang 26 (tahun 2000 tentang Pengadilan HAM) basisnya Statuta Roma," ujar dia.
"Dalam setiap penyelidikan, dalam putusan pengadilan HAM rujukan memang putusan dari ICC, jadi kawan-kawan nanti bisa dilihat, itu (kasus Munir) sangat logis merujuk pada pengadilan HAM di tingkat internasional," sambung Sandra.
Munir dibunuh pada 7 September 2004 dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam melalui Singapura.
Pemberitaan Harian Kompas 8 September 2004 menyebutkan, Munir meninggal sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda, pukul 08.10 waktu setempat.
Hasil otopsi menunjukkan adanya senyawa arsenik dalam tubuh mantan Ketua Dewan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu.
Baca juga: Jelang Kedaluwarsa, Jokowi-Komnas HAM Diharap Tetapkan Kasus Munir Pelanggaran HAM Berat