Fungsi rekruiter politik menempatkan parpol sebagai lembaga yang membuka akses bagi siapa saja yang memiliki minat untuk terlibat dalam politik praktis.
Sementara fungsi pengatur konflik mengharuskan parpol untuk mampu menjadi penjaga stabilitas di masyarakat mengingat perbedaan pendapat dan orisinalitas afiliasi politik akan selalu muncul.
Masalahnya, pemilu sejauh ini selalu dilihat hanya dari sudut pandang elektoral, yaitu soal pencapaian, menang atau kalah, atau soal objeknya, terpilih atau tidak terpilih.
Padahal, jika ditilik secara lebih mendalam, terdapat manfaat yang berpotensi dirasakan oleh lebih banyak pihak apabila sudut pandang yang digunakan dalam melihat pemilu diperluas menjadi sudut pandang sistem politik, alih-alih sekadar sudut pandang elektoral.
Selanjutnya, jika benar bahwa sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang sistem politik, setidak-tidaknya, dua manfaat jadi akan tersaji secara lekas, yaitu hubungan antara parpol dan konstituen jadi lebih substantif dan diskursus politik di Indonesia jadi bisa bergeser ke arah programatik alih-alih masih fokus pada tokoh.
Adapun pendalamannya adalah sebagai berikut. Pertama, apabila suatu saat nanti parpol mampu melakukan serangkaian persiapan substantif alih-alih sekadar persiapan fisik untuk bisa mengikuti Pemilu, hubungan antara parpol dan konstituen, otomatis, juga akan terjalin secara lebih substantif.
Artinya, relasi keduanya tidak lagi hanya dihubungkan oleh agenda-agenda seremonial kepemiluan seperti kampanye, melainkan menjadi sosialisasi dan pendidikan politik.
Sosialisasi dan pendidikan politik bukanlah agenda yang bisa diremehkan. Di dalamnya, terdapat ruang dialog antara parpol dan konstituen untuk saling bertegur sapa, tetapi bukan dalam konteks kandidasi.
Sebaliknya, parpol dan konstituen justru akan demikian serius membicarakan berbagai persoalan bangsa berikut usulan solusinya.
Tanpa terasa, persoalan-persoalan di tingkat grassroot akan tersentuh oleh para pemangku kebijakan dengan sendirinya.
Kedua, diskursus politik dalam sistem politik secara keseluruhan juga akan menjadi lebih substantif, yang berarti mengarah pada program kerja parpol.
Dampaknya, wacana-wacana politik di Indonesia pelan-pelan akan meninggalkan figur sebagai objek utama elektoral.
Apalagi, sebagaimana diketahui, wacana-wacana politik di Indonesia sejauh ini masih kuat berkutat pada personalisasi figur.
Seolah-olah, sebagian besar parpol tidak lebih dari fans club yang terorganisasi dengan demikian rapi tetapi pada akhirnya, hanya akan bekerja untuk figurnya tersebut agar bisa memenangkan pemilu. Padahal, wacana-wacana politik non figur sudah demikian dinanti.
Masalahnya, tidak dapat dipungkiri bahwa persiapan parpol yang lantas disampaikan kepada publik masih cenderung bersifat kelembagaan karena baru berbicara tentang kesiapan prosedural.