SESUAI dengan hukum demokrasi, setiap kebijakan pemerintah, apalagi menyangkut kepentingan rakyat, termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan (proses legislasi) wajib melibatkan partisipasi publik.
Publik berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis atas RUU dan Raperda sejak tahapan penyusunan hingga keputusan.
Partisipasi publik merupakan implementasi dari asas “keterbukaan” dalam proses legislasi, dan merupakan komitmen demokratis untuk menjalankan good governance dalam setiap pengambilan keputusan atau “a democratizing decision-making” (Gundling, 1980).
Tujuannya tidak lain agar setiap peraturan perundang-undangan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan, kepentingan, serta keinginan masyarakat luas.
Persoalan partisipasi publik inilah yang seringkali muncul selama ini, bahwa DPR, DPD, dan Pemerintah selaku yang diamanahi oleh Konstitusi sebagai pembentuk undang-undang dinilai kurang aspiratif dan tidak partisipatif.
Salah satunya penyebabnya adalah, hingga saat ini belum ada mekanisme baku atau pengaturan lebih lanjut mengenai partisipasi mayarakat yang dapat diikuti oleh pembentuk undang-undang. Akibatnya, keterlibatan publik seringkali bersifat formalitas (Hidayati, 2019).
Sejauh ini memang belum ada hasil survei, penelitian atau apapun namanya, yang mengukur tingkat partisipasi publik dalam proses legislasi.
Sehingga, sulit juga untuk menyimpulkan bahwa tingkat partisipasi publik rendah/sedang/tinggi, atau pembentuk undang-undang abai dan tidak melibatkan publik.
Yang bisa diketahui adalah bahwa terhadap persoalan partisipasi publik ini, sudah ada beberapa yang melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (Mahkamah).
Dengan menggunakan kata kunci "partisipasi", "partisipasi publik/masyarakat" pada portal Mahkamah (Putusan PUU) ditemukan tujuh pengajuan judicial review atas lima UU terkait partisipasi publik dalam proses legislasi.
Yaitu UU 3/2022 tentang Ibu Kota Negara (dua kali permohonan); UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (satu kali permohonan); UU 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (satu kali permohonan); UU 2/2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (satu kali permohonan); dan UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (dua kali permohonan).
Dari tujuh permohonan, telah diputuskan: satu permohonan ditarik kembali; tiga permohonan ditolak; satu permohonan tidak dapat diterima; dan hanya dua permohonan (9/PUU-VII/2009 dan 4/PUU-VII/2009) yang “dikabulkan sebagian” oleh Mahkamah.
Data ini menunjukkan bahwa pengabaian partisipasi publik yang merupakan syarat formil dalam proses legislasi tidak seluruhnya terbukti secara hukum. Publik telah berpartisipasi dalam proses legislasi, walaupun mungkin belum maksimal.
Sungguhpun demikian, persepsi dan narasi publik bahwa proses legislasi kurang aspiratif dan tidak partisipatif tetap perlu mendapatkan perhatian serius dari pembentuk undang-undang.
Jika pembentuk undang-undang abai terhadap partisipasi publik, dan terjebak dalam semangat elitisme, maka materi muatan undang-undang tersebut akan mengambil jarak dengan kepentingan hukum masyarakat.
Dampaknya amat jelas, UU tersebut rentan dibatalkan melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (Isra, 2016).
UU tersebut juga tidak efektif mencapai tujuan yang diharapkan (misalnya: UU 22/1999); tidak implementatif sejak diundangkan atau gagal sejak dini (misalnya: UU 31/1999); tidak responsif dan mendapatkan penolakan yang keras dari masyarakat (misalnya: UU 24/2007, UU 23/2014, UU 11/2020); dan menimbulkan kesulitan baru di masyarakat (misalnya: UU 28/2004) (Setyowati, 2012; Farisi, 2019).
Bahkan, di antara UU tersebut, proses pembentukan UU 24/2007 diklaim sebagai “paling berdarah dalam sejarah Indonesia” (Zaenal, 2020).
Walaupun demikian, harus dipahami pula bahwa partisipasi publik secara luas dan terbuka terbatas pada pembentukan UU dan Perda.
Sedangkan pembentukan Perpu oleh karena ikhwal kegentingan yang memaksa yang harus secara cepat ditangani dan membutuhkan keputusan segera; Peraturan Presiden/Kepala Daerah, dan Keputusan Kepala Daerah karena lebih merupakan peraturan pelaksana yang sifatnya sangat teknis dan tidak menciptakan kaidah atau norma hukum baru, tidak memberikan peluang bagi adanya partisipasi masyarakat.
Sejalan dengan keterbukaan informasi publik berbasis internet, DPR telah membuka akses bagi publik melalui portal https://www.dpr.go.id/
Pada menu “Legislasi” terdapat sejumlah RUU yang terdaftar, dibahas, dan/atau sudah diputuskan melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) baik periode 2015—2019 maupun periode 2020-2024.
Melalui portal tersebut, publik, siapapun (perorangan atau kelompok) dapat mengetahui proses atau tahapan legislasi nasional yang sedang dan sudah selesai, serta siapa yang mengajukannya (DPR, Pemerintah, atau DPD).
Pada setiap tahapan, juga tersedia dokumen berupa Draft RUU, Bahan Narasumber, dan Draft Naskah Akademik yang terbuka untuk diakses/diunduh oleh publik.
Publik dapat berpartisipasi aktif dan terbuka untuk memberikan pendapat atau pertimbangan atas RUU yang sedang dibahas di DPR sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011.
Dengan cara demikian, selain cara-cara lain yang sudah ditentukan di dalam UU, partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan diharapkan bisa lebih optimal.
Dari hasil cermatan sepintas pada menu “feedback” yang berisi rekaman masukan, komentar, kritikan publik atas RUU yang masuk prolegnas, partisipasi masyarakat masih sangat sedikit.
Bahkan, pada beberapa RUU tidak ada ditemukan satupun masukan atau pendapat.
Bisa jadi, karena substansi RUU kurang menarik, kurang familiar, tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan atau kepentingan mereka, atau bisa jadi karena sosialisasi portal tersebut belum massif dilakukan oleh DPR.
Hal ini perlu menjadi kepedulian Sekretariat Jenderal dan Badan Legislasi DPR agar publik lebih mengenal keberadaan dan fungsi portal tersebut.
Kita tentu sangat berharap, portal DPR RI ini dapat disosialisasikan lebih baik dan massif. Sehingga partisipasi publik bisa meningkat agar tercipta produk-produk legislasi yang lebih berkualitas, dan memenuhi hajat hidup rakyat.
Karena bagaimanapun, partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan hak sipil dan hak politik setiap anggota masyarakat yang dilindungi oleh konstitusi negara, juga dijamin di dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang disahkan PBB pada 19 Desember 1966 dan diratifikasi oleh negara Indonesia pada 28 Oktober 2005 dalam UU 12/2005.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.