TENTU saja, peringatan Kepala Negara Joko Widodo mengenai ancaman krisis pangan dan energi bukan untuk menakut-nakuti rakyat Indonesia.
Namun, sebaliknya Presiden Jokowi ingin agar pemerintah dan seluruh elemen bangsa berpikir dan bergotong royong mengupayakan solusinya.
Baca artikel sebelumnya: Refleksi HUT Ke-77 RI: Menuju Kemerdekaan Pangan dan Energi (Bagian I)
Tak dapat disangkal kerawanan pangan adalah isu yang berbahaya karena tidak berdiri sendiri.
Keluarga berpenghasilan rendah dapat dipengaruhi oleh beberapa masalah yang tumpang tindih seperti isolasi sosial, masalah kesehatan akut dan kronis, kurangnya perumahan yang terjangkau, upah rendah, dan biaya medis yang tinggi.
Faktor-faktor ini juga dapat mengakibatkan kerawanan pangan dan sebaliknya, menjadikannya keadaan kehidupan yang kompleks dan lebih berbahaya.
Untuk memecahkan masalah krisis pangan, PBB, misalnya, mengajukan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yang harus dicapai pada tahun 2030.
Mencapai ketahanan pangan, dan perbaikan gizi, mengakhiri kelaparan dan mempromosikan pertanian berkelanjutan adalah tujuan kedua.
Oleh karena itu, setiap individu, keluarga, kelompok, organisasi, korporasi, lembaga dan pemerintah harus mencapai ketahanan pangan sebelum tahun 2030.
Bishop, M. lewat bukunya The Cycle of Food Insecurity (2017) menyatakan harus diakui tidak banyak yang telah dilakukan oleh lembaga dan negara di dunia untuk mengatasi krisis pangan.
Meski demikian, tetap ada harapan bahwa ada keamanan pangan pada masa depan. Asalkan seluruh elemen masyarakat mau terlibat untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, mengurangi limbah makanan. Menurut dia, makanan terbuang terutama karena persiapan yang tidak efisien, jalan bergelombang atau buruk, pelanggan yang terlalu selektif, dan fasilitas penyimpanan yang tidak memadai.
Jika fasilitas penyimpanan ditingkatkan dan ada persiapan yang memadai tentang bagaimana makanan akan digunakan, akan lebih sedikit makanan yang terbuang, dan akan ada komunitas yang lebih aman terhadap makanan.
Kedua, mengurangi risiko komersialisasi jika pangan ditanam untuk tujuan memberi makan masyarakat atau bangsa, tingkat kerawanan pangan akan turun.
Petani dapat memproduksi lebih banyak tanaman pangan dan akan mampu menghasilkan tanaman komersial jika ada cukup tanaman pangan di pasar.
Risiko komersialisasi makanan akan lebih kecil jika pangan cukup di pasar. Pemerintah juga harus menerapkan program yang memungkinkan petani mengetahui kapan ada cukup makanan untuk semua orang.
Ketiga, meningkatkan pembangunan infrastruktur. Jika infrastruktur diperbaiki, lebih banyak makanan akan tersedia di pasar dan tingkat kerawanan pangan bisa turun.
Keempat, meningkatkan kebijakan perdagangan. Sejumlah petani gagal memberi makan masyarakat karena kebijakan perdagangan yang tidak adil.
Perusahaan raksasa telah masuk dan mengkomersialkan makanan, mempersulit petani skala kecil untuk memiliki produk mereka di pasar.
Oleh karena itu, pemerintah harus memperbaiki kebijakan tersebut, dan membuatnya adil bagi semua orang untuk berpartisipasi.
Kelima, mengembangkan diversifikasi. Berfokus pada satu tanaman pangan atau bahan pokok dapat menghasilkan hasil yang buruk untuk pengurangan kerawanan pangan.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan, perlu dilakukan pelatihan tentang pentingnya diversifikasi pangan dan pola makan sehat untuk gizi yang lebih baik.
Keenam, menata kesenjangan panen. Sebagian besar lahan pertanian kita terkuras tingkat kesuburan alaminya dan tidak dapat berproduksi sebanyak pada masa lalu.
Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga pertanian yang bertanggung jawab perlu membuat strategi dan program untuk meningkatkan hasil panen, terutama metode spesifik lokasi untuk intensifikasi pertanian berkelanjutan seperti pengelolaan tanah dan perbaikan lahan.
Strategi atau program yang ditetapkan harus memastikan makanan tersedia untuk semua, dan bahwa satwa liar dan hutan tidak punah.
Ketujuh, bekerja demi mengalahkan perubahan iklim. Perubahan iklim sangat memengaruhi kehidupan kita dan produksi makanan.
Jika kita melawan perubahan iklim dan bertani secara berkelanjutan, kita akan dapat memastikan ada cukup makanan untuk kita dan generasi mendatang. Ini merupakan langkah tambahan dalam memerangi kerawanan pangan.
Lalu, bagaimana caranya untuk mengatasi krisis energi?
Berdasarkan analisisnya, IERS merekomendasikan bahwa langkah penting yang harus diambil adalah melakukan investasi besar-besaran untuk mencapai sistem energi nol emisi pada tahun 2050.
Menurut IETS dekarbonisasi sektor energi akan membutuhkan investasi yang signifikan dalam energi terbarukan, pemanas listrik, bahan bakar bersih, jaringan listrik, dan penyimpanan energi.
Studi IETS memperkirakan kebutuhan investasi sebesar 20–25 miliar dollar AS per tahun antara tahun 2020 dan 2030 dan sekitar 40–60 miliar dollar AS per tahun dari tahun 2030 hingga 2050.
Rata-rata, dibutuhkan 4,5 miliar dollar AS per tahun untuk memenuhi 108 GW target PV surya pada tahun 2030.
Kebutuhan investasi surya akan mencapai puncaknya antara 2030 dan 2040 dengan investasi mencapai 20–25 miliar dollar AS per tahun.
Bagian PV surya atap dalam total investasi surya akan terus meningkat menjadi sekitar 50 persen antara tahun 2045 dan 2050.
Investasi dalam penyimpanan energi (listrik dan panas) dan bahan bakar bersih perlu dimulai dari tahun 2030 dan seterusnya.
Investasi akumulatif dalam penyimpanan energi akan mencapai puncaknya antara tahun 2030 dan 2035 sekitar 88 miliar dollar AS dengan investasi baterai paling banyak.
Sementara itu, investasi hidrogen akan mencapai titik tertinggi dari tahun 2035 hingga 2040 sekitar 7 miliar dollar AS per tahun, mendominasi investasi bahan bakar bersih pada periode tersebut.
Investasi juga dibutuhkan untuk mengadakan sambungan antar pulau sebesar 158 GW dari barat ke timur akan membutuhkan total investasi sebesar 92 miliar dollar AS antara tahun 2020 dan 2050.
Sebagian besar investasi akan dihabiskan dengan baik untuk sambungan Sumatera-Jawa yang akan memiliki kapasitas sekitar 52 GW pada tahun 2050, kapasitas tertinggi di antara koneksi antar pulau di Indonesia.
Memang, merespons dampak luas pandemi Covid-19, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 695,2 triliun (2020) dan Rp 699,43 triliun (2021) untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Namun, sayangnya hanya 0,9 persen dari alokasi anggaran pada tahun 2020 yang mendukung transisi energi.
Sedangkan sisa anggaran terutama digunakan untuk proteksi sosial dan insentif fiskal bagi pelaku usaha di berbagai sektor.
Untuk mendukung proyek instalasi EBT pemerintah telah melakukan insentif fiskal melalui 1) fasilitasi perpajakan seperti tax allowance dan tax holiday, untuk pendapatan dan investasi, 2) pembebasan bea masuk untuk mesin dan peralatan, dan 3) pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk panas bumi.
Kebijakan insentif fiskal diharapkan dapat menekan biaya investasi dan menarik investor untuk berinvestasi di infrastruktur energi terbarukan, yang juga menyasar pembangunan infrastruktur panas bumi yang menanggung biaya investasi dan risiko proyek yang tinggi.
Namun demikian, banyak kendala dalam pelaksanaan insentif fiskal yang menghambat investasi.
Tunjangan pajak, tax holiday, dan pembebasan bea masuk belum dimanfaatkan secara efektif oleh pengembang EBT.
Pengembang masih enggan memberikan kesempatan untuk pembukuan mereka diperiksa. Padahal, pengembang EBT harus memenuhi kewajiban perpajakan dan tidak memiliki masalah perpajakan untuk bisa mendapatkan tax allowance.
Terkait pembebasan pajak, pengembang dapat menerima manfaat pengurangan pajak 100 untuk pajak penghasilan badan (PPh) selama 5–20 tahun.
Namun demikian, itu tidak efektif karena biasanya pengembang belum menerima keuntungan selama lima tahun pertama pelaksanaan proyek; dengan demikian, bahkan tanpa insentif, para pengembang tidak diwajibkan membayar pajak penghasilan.
Jadi, langkah penting lain yang perlu segera diambil pemerintah adalah melakukan perbaikan regulasi insentif fiskal dan fasilitasi untuk menarik investasi ETB.
Nah, jika semua pemerintah dan masyarakat Indonesia konsisten menjalankan beberapa inisiatif sebagaimana disebutkan di atas, maka ada harapan besar, Indonesia dapat terhindar dari ancaman krisis pangan dan energi yang sedang menghantui dunia.
Bahkan, bangsa Indonesia pun berpeluang meraih ‘kemerdekaan’ pangan dan energi. Selamat hari raya kemerdekaan ke-77 RI.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.