Tujuannya adalah ingin meminta kepastian tentang kabar pembubaran Bulog seperti yang didengar Sapuan dari risalah sidang kabinet, serta informasi mengenai keinginan Presiden menarik dana taktis Bulog untuk penyelesaian masalah Aceh.
Soewondo kemudian menghubungi Sapuan untuk dicarikan pinjaman Rp 35 miliar untuk penyelesaian Aceh.
Sapuan sempat meminta dana kepada Kepala Bulog yang saat itu dirangkap Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla. Namun, Kalla menolak karena tidak ada konfirmasi dari Presiden.
Baca juga: Di Balik Misteri Tidur Gus Dur
Setelah itu, Sapuan pun menggunakan dana Yayasan Kesejahteraan Karyawan Badan Urusan Logistik (Yanatera Bulog) tanpa persetujuan Jusuf Kalla.
Sapuan kemudian menyerahkan dana itu kepada Soewondo dalam beberapa kali pencairan sejak 13-20 Januari 2000.
Penyelewengan dana Yanatera Bulog itu kemudian dilaporkan ke polisi.
Kasus itu ditangani oleh Tito Karnavian yang saat itu menjabat Direktorat Serse Polda Metro Jaya dengan pangkat Mayor Polisi.
Tito memimpin anak buahnya menangkap Sapuan di kantornya, Gedung Bulog Jalan Gatot Subroto, pada 25 Mei 2000.
Dia juga yang memimpin proses penyidikan terhadap Sapuan beberapa jam setelah penangkapan.
Baca juga: Kebijakan Abdurrahman Wahid pada Masa Reformasi
Tito juga terlibat dalam pencarian Soewondo yang buron setelah namanya disebut terlibat dalam kasus itu. Soewondo sendiri ditangkap di sebuah rumah mewah pada 14 Oktober 2000 di Cisarua, Bogor.
Dilansir dari arsip Harian Kompas terbitan 16 Oktober 2000, Tito menyebut penangkapan itu dilakukan di rumah Soewondo sekitar pukul 13.30 WIB.
Selain Buloggate, skandal Bruneigate juga turut membuat pemerintahan Gus Dur dirongrong oleh konflik politik.
Pangkal persoalannya adalah saat itu Gus Dur dituduh menyelewengkan dana sebesar 2.000.000 Dolar Amerika Serikat dari Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah untuk rakyat Aceh.
Dana itu dilaporkan diterima oleh seorang pengusaha bernama Ario Wowor. Dia kemudian melapor kepada Gus Dur tentang dana dari Sultan Hassanal Bolkiah itu.
Saat itu, Gus Dur disebut memerintahkan supaya uang itu diserahkan kepada H. Masnuh untuk dibagikan kepada sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Karena hal itu Gus Dur kemudian dituduh menyelewengkan dana dari Sultan Hassanal Bolkiah. Hal itu kemudian dilaporkan ke Kejaksaan Agung.
Menurut Fachri Nasution yang pada 2001 menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), dalam proses penyelidikan tidak ditemukan indikasi keterlibatan Gus Dur dalam kasus Buloggate.
Menurut dia, hanya 4 orang yang menjadi tersangka dalam kasus Buloggate yakni Soewondo, Sapuan, Muljono Makmur dan Jacobus Ishak.
Sedangkan dalam kasus Bruneigate, Kejagung juga tidak menemukan indikasi tindak pidana korupsi yang dilakukan Gus Dur, seperti yang dituduhkan banyak kalangan.
Baca juga: Cerita Gus Yahya Tak Bisa Makan meski Punya Uang, Akhirnya “Kabur” ke Istana Gus Dur
Fachri mengatakan, pemberian dana dari Sultan Hassanal Bolkiah adalah murni hibah dari perorangan kepada perorangan. Bukan dari pemerintah kepada pemerintah (Government to Government).
Kejagung lantas memutuskan menghentikan penyelidikan terhadap Gus Dur terkait 2 perkara itu.
Persoalan itu, walau keterlibatan Gus Dur tak terbukti, akhirnya merembet ke arah politik.
DPR membentuk Panitia Khusus Bulog yang dinilai kontroversial.
Akibatnya, ketegangan politik di tingkat elite merembet kalangan masyarakat. Mereka terbelah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra Gus Dur.
Ketegangan politik juga terasa di Ibu Kota Jakarta, saat akan digelarnya Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Juli 2001.
Baca juga: Mengenang Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia dalam Perayaan Imlek
Saat itu para pendukung Gus Dur dari Jawa Timur juga mendatangi Jakarta dengan tujuan melakukan doa bersama.
Sedangkan kelompok mahasiswa mendesak supaya DPR/MPR segera mencopot Gus Dur. Karena keberadaan 2 kelompok yang berseberangan itu, potensi aksi kekerasan juga semakin tinggi.
Setelah persidangan dan lobi-lobi yang alot, Sidang Istimewa MPR memutuskan mencopot Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden, tanpa melalui mekanisme hukum atau proses pengadilan, pada 23 Juli 2001.
MPR beralasan Gus Dur melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), walaupun tak pernah terbukti sampai saat ini.
(Penulis : Aditya Revianur, Bayu Galih, Verelladevanka Adryamarthanino | Editor: Inggried Dwi Wedhaswary, Bayu Galih, Widya Lestari Ningsih)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.