PADA mulanya informasi ditransmisikan dari mulut ke mulut. Lalu berkembang lewat goresan di atas batu, pada daun lontar, kemudian tulisan dengan tinta di kertas, dan selanjutnya dihimpun, dicetak, digandakan, dipindahtangankan, lalu disebarluaskan.
Era ini dikenal dengan peradaban buku—disertai penyebaran media-media koran, majalah, jurnal, dan semacamnya.
Tidak berarti transmisi informasi dari mulut ke mulut berhenti. Buku tulis-cetak dan semacamnya butuh proses panjang. Kita menginginkan transmisi informasi yang cepat dan akurat.
Maka lahirlah teknologi audio, lalu audiovisual melalui jaringan gelombang radio dan jaringan satelit.
Teknologi ini terus berkembang, semula dalam wujud pesawat radio, televisi, telepon konvensional hingga kemudian berevolusi menjadi apa yang kita sebut sekarang dengan smartphone atau telepon pintar.
Perkembangan digitalisasi juga memunculkan konvergensi media, yaitu integrasi media lewat digitalisasi yang dilakukan oleh industri media.
Melalui perangkat telepon pintar ini, berbagai macam-bentuk informasi bisa ditransmisikan dengan cepat hanya dengan sentuhan jemari tangan.
Revolusi teknologi informasi tak terhindarkan. Dunia serasa terlipat dalam genggaman tangan. Beragam informasi berseliweran setiap saat, tanpa jeda.
Sebagian berisi peringatan genting dan petuah penting, sebagian lainnya berupa puja-puji atau caci maki, tudingan, dan bahkan sumpah serapah.
Tak jarang, informasi-informasi yang disajikan lalu disalin-tempel kemudian viral di media-media sosial, walaupun kualitasnya “sampah,” dan datang dari dunia antah-berantah.
Tak sedikit dari kita menjadi bagian dari sirkulator-sirkulator informasi yang berseliweran itu, entah sebagai penyuplai, distributor, atau agen penyalur.
Dengan smartphone di tangan, kita turut serta memondar-mandirkan “kabar-kabar burung” dari satu jalur aplikasi media ke aplikasi media yang lain; atau dari satu grup media ke grup-grup lainnya; atau kita tempelkan pada papan status media di akun atas nama kita.
Tak jarang, penyebaran informasi-informasi lewat media sosial ini disertai dengan iming-iming pahala dan ancaman-ancaman berdosa.
Dalam konstelasi seliweran informasi yang demikian, nalar kritis dan jiwa analitis sangatlah diperlukan. Jika tidak, maka kita akan terbawa ke dalam arus informasi buta.
Informasi buta adalah informasi yang diterima begitu saja, tanpa diklarifikasi dan diverifikasi validitasnya.