Kenapa perlu mekanisme mitigasi potensi fraud yang ketat? Menurut penelitian ACFE (Association of Certified Fraud Examiner) sektor nonprofit merupakan sektor yang rawan terjadi fraud.
Menurut ACFE, sektor nonprofit rentan terjadi fraud karena kekurangan sumber daya dan rendahnya tingkat pengawasan internal.
Pemerintah selaku regulator sudah saatnya memperbarui aturan soal mekanisme aktivitas lembaga filantropi dalam hal penggalangan dana publik.
Apalagi kita tahu fakta bahwa aturan tentang pengumpulan dana yang berlaku saat ini masih UU No 9 Tahun 1961. Aturan tersebut sudah berumur sangat lama dan perlu banyak penyesuain dengan kondisi sekarang.
Perlu diatur skema pengawasan dan kontrol yang lebih ketat pada para pegiat organisasi penggalang dana publik.
Jangan sampai niat mulia hadirnya lembaga filantropi yang memang masih dibutuhkan untuk masyarakat ternodai oleh polah tingkah oknum.
Satu fakta menarik yang disampaikan PPATK dalam kasus ACT adalah ditemukan adanya indikasi dana sumbangan yang terhimpun tidak langsung disalurkan dalam bentuk bantuan.
Dana yang terkumpul ditahan dan dikelola terlebih dahulu pada unit bisnis yang terafiliasi dengan ACT, sebelumnya akhirnya dikembalikan pada ACT untuk disalurkan dalam bentuk bantuan.
Menjadi pertanyaan, apakah praktik ini wajar dan diizinkan?
Bagi orang awam yang pertama kali mendengar akan terasa aneh dengan pola semacam ini. Namun yang belum banyak diketahui bahwa ada dana sumbangan yang bisa digunakan untuk bisnis, yaitu dana wakaf.
Selain dana wakaf, memang kurang tepat jika dana tersebut dialokasikan kedalam unit-unit bisnis.
Sampai hari ini belum ada penjelasan dari ACT soal hal tersebut. PPATK hanya bisa membaca pola aliran dana dan tidak tahu sifat dana tersebut masuk kategori sumbangan atau wakaf. ACT memang memiliki unit wakaf.
Namun jika memang kemudian terbukti ada pos-pos pengalokasian dana sosial yang kurang tepat di luar wakaf, maka tentu harus menjadi poin koreksi tersendiri.
Secara regulasi badan hukum yayasan memang diperbolehkan membentuk perseroan terbatas di mana yayasan berkedudukan sebagai pemegang saham. Inilah satu bentuk terkini dari apa yang disebut social business atau social enterprise.
Ketika sudah memiliki unit bisnis, maka penghasilan dari unit bisnis dapat menyokong aktivitas operasional kegiatan filantropi sehingga tidak tergantung pada dana donasi-donasi publik lagi.
Memang pola ini belum banyak dikenal oleh masyarakat, tapi justru akan menjadi babak baru dalam dunia filantropi.
Kalau masyarakat keberatan soal adanya potongan dana donasi untuk operasional, maka mari bersama-sama kita dorong agar bentuk social business diadaptasi lebih luas lagi.
Meski menurut hemat penulis, potongan untuk operasional dalam batas kewajaran masih diperbolehkan. Hanya perlu diatur secara lebih rigid dan update.
Pasalnya, jika mengacu pada aturan Kemensos maksimal potongan sebesar 10 persen, angka tersebut menjadi kurang relevan jika dibandingkan dengan kultur filantropi global.
Secara global, kisaran biaya operasional atau overhead menyentuh angka 15 persen-20 persen. Bahkan, di beberapa organisasi ada yang sampai 30 persen.