DI HAMPIR semua pintu masuk kantor kesatuan yang menjadi bagian dari jajaran Kodam III Siliwangi di Kota Bandung, Jawa Barat, kita mudah menemukan spanduk yang memuat foto seorang pria berseragam loreng bertuliskan nama Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo dengan jabatan Dangartap II/Bandung.
Dalam spanduk tersebut ada tulisan "Bila ada Anggota TNI yang menyakiti rakyat hubungi No Hp 081181113333".
Komitmen yang layak kita apresiasi dari orang nomor satu di jajaran Kodam III Siliwangi agar jajaran di bawahnya jangan menyakiti rakyat.
Komitmen yang sangat relevan dengan prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sejalan pula dengan ikhtiar badan dunia PBB yang telah menetapkan setiap 26 Juni diperingati sebagai Hari Peduli Korban Penyiksaan Internasional.
Esensi nilai kemanusiaan yang indah dimiliki seseorang adalah turut merasakan akan derita orang lain.
Sebagaimana ungkapan penyair Jalaludin Rumi dalam tulisannya yang inspiratif dan menyentuh, "Jika engkau merasakan sakit atas dirimu, itu tandanya engkau masih hidup. Namun jika engkau merasakan sakit yang dirasakan oleh orang lain itu tandanya engkau adalah manusia".
Karena realitasnya manusia dengan kekuasaan, ambisi dan kekuatan yang dimiliki akan mudah berubah, termasuk melakukan tindak kekerasan jika tidak memiliki landasan moralitas yang kokoh.
Kekerasan timbul karena berbagai faktor terkait ekonomi, politik bahkan agama.
Bangsa kita memiliki sejarah kelam dari berbagai kasus kekerasan dan konflik yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia terutama pada akhir tahun 1990-an, dari konflik berdarah di Sambas dan Sampit, Ketapang, Ambon, Poso hingga berbagai wilayah lain di Indonesia.
Begitu pula dengan radikalisme atas nama agama yang seringkali menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuannya, seperti teror bom, pembakaran, dan sebagainya.
Telah banyak upaya dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik-konflik ini, dari seminar hingga dialog antarpemuka agama yang berbeda dalam mencari resolusi konflik.
Namun hingga saat ini kekerasan berbasis konflik tetap masih terjadi. Sehingga PBB menetapkan tanggal 26 Juni sebagai Hari Peduli Korban Penyiksaan Internasional.
Hari peringatan untuk menentang segala tindakan kejahatan dan penyiksaan oleh aparat maupun masyarakat sipil.
Juga untuk turut empati dan mendukung para korban penyiksaan yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Mendasari hal tersebut, setiap negara wajib melakukan perlindungan terhadap para korban penyiksaan.
Alhamdulilah negara Indonesia sudah menandatangani konferensi tersebut pada 23 Oktober 1985 dan meratifikasi antipenyiksaan dalam UU No 5 Tahun 1998, tentang Pengesahan Convention Against Tortureand Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).
Dalam implementasinya, Komnas HAM RI telah membentuk Tim Pemantauan Kekerasan Negara dan Masyarakat Sipil.
Tim ini dibentuk untuk mendata kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara, memfokuskan pada lima isu utama terkait kekerasan terhadap masyarakat sipil dalam kurun waktu 2020 hingga 2021.
Tim mendata kekerasan yang dilakukan oleh Polri, TNI, lembaga pemasyarakat, dan Satpol PP.
Lebih spesifik, Komnas HAM mencatat 72 kekerasan oleh oknum polisi selama 2020 dan 55 kasus pada 2021.
Sedangkan kekerasan oleh oknum TNI sebanyak 10 kasus pada 2020 dan 11 kasus pada 2021.
Selanjutnya, Komnas HAM juga mencatat kekerasan oleh oknum petugas lembaga pemasyarakatan sebanyak dua kasus pada 2020 dan satu kasus pada 2021.
Terakhir, kekerasan terhadap warga sipil juga dilakukan oleh oknum anggota Satpol PP, yakni dua kasus pada 2020 dan satu kasus pada 2021.
Pemantauan ini dilakukan sebagai evaluasi dan menjadi dorongan agar aparat negara tidak melakukan tindak kekerasan yang menyakiti rakyat.
Setidaknya sebuah langkah untuk menghentikan atau paling tidak mengurangi maraknya budaya kekerasan dan penyiksaan dalam relasi aparat negara dengan rakyat, yang semestinya berbasis dialogis, solutif dan harmoni.
Tanggal 26 Juni dipilih oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena dua alasan.
Alasan pertama, pada 26 Juni 1945, Piagam PBB ditandatangani sebagai instrumen internasional pertama. Dengan ini, diwajibkan agar anggota PBB untuk menghormati dan memajukan hak asasi manusia.
Alasan kedua, pada 26 Juni 1987, Konvensi PBB menentang penyiksaan diberlakukan.
Keputusan PBB untuk memperingati Hari Peduli Korban Penyiksaan Internasional diberlakukan atas usul Denmark yang merupakan rumah Dewan Rehabilitasi Korban Penyiksaan Internasional (DRKPI). Hari Peduli Korban Penyiksaan Internasional pertama diperingati pada tahun 1998.
Penyiksaan hingga merendahkan martabat manusia serta penangkapan dan penahanan sewenang-wenang bukan hal yang baru.
Pelakunya bukan hanya dari kalangan masyarakat, namun juga dari kalangan pemerintah yang memerlukan perhatian dan ikhtiar kita semua untuk melawannya.
Menurut UNESCO, konflik atau perselisihan dalam kehidupan manusia mungkin tidak dapat dihindari, tetapi tidak dengan kekerasan.
Sehingga, nilai-nilai antikekerasan atau nilai-nilai perdamaian harus senantiasa ditanamkan pada diri generasi bangsa sejak dini, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah.
Internalisasi nilai-nilai tersebut salah satunya tercermin di dalam prinsip disiplin positif yang dikembangkan dalam lingkungan masyarakat, sekolah bahkan di lingkungan kerja pemerintah.
Terkait penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, Tuan Guru Bajang (TGB) dalam salah satu nasihatnya yang sangat menyentuh, menyampaikan “amalan yang paling sederhana, tetapi memberikan dampak luar biasa bagi keselamatan manusia di akhirat, adalah jangan pernah menyakiti hati orang lain.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.