JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Asrorun Niam menceritakan bagaimana pihaknya mengebut pembuatan Fatwa MUI Nomor 32 Tahun 2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban Saat Kondisi Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
Asrorun Niam mengatakan, MUI merasa fatwa tersebut sangat mendesak untuk diterbitkan.
"Kenapa cepat? Karena sangat mendesak. Majelis Ulama Indonesia melihat bahwa ini sangat penting untuk dijadikan pedoman dan juga panduan," ujar Asrorun Niam dalam jumpa pers di Kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (31/5/2022).
Baca juga: MUI Terbitkan Fatwa Kurban di Tengah Wabah PMK, Begini Isinya
Selain itu, Niam menyebut pelaksanaan dan persiapan kurban sudah sangat dekat.
Sehingga, masyarakat membutuhkan panduan yang cepat, mengingat saat ini PMK sedang mewabah.
"MUI menyadari itu, makanya pembahasan ini juga dibahas secara marathon setelah tanggal 27 (Mei). Kami memperoleh informasi yang komprehensif terkait ihwal penyakit mulut dan kuku, kemudian gejala klinis, pengaruh yang ditimbulkan dan langkah-langkah mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah," tuturnya.
Selanjutnya, kata Niam, pada tanggal 28-30 Mei kemarin, MUI melakukan rapat secara intensif.
Rapat itu baru difinalisasi semalam dan diplenokan Selasa tadi pagi.
Untuk diketahui, Fatwa MUI Nomor 32 Tahun 2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban Saat Kondisi Wabah PMK telah diterbitkan.
Baca juga: Pemprov Banten Sebut Stok Hewan Kurban Aman Jelang Idul Adha
Di dalam fatwa tersebut, MUI membeberkan syarat hewan yang sah untuk dijadikan hewan kurban.
"Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori ringan, seperti lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, dan keluar air liur lebih dari biasanya hukumnya sah dijadikan hewan kurban," ujar Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (31/5/2022).
Kemudian, Asrorun Niam menjelaskan, hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat seperti lepuh pada kuku sampai terlepas, pincang, tidak bisa berjalan, dan menyebabkan sangat kurus, maka hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban.
Baca juga: Ratusan Sapi Perah di Kuningan Terserang PMK, Pemda dan Damkar Semprotkan Disinfektan
"Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat dan sembuh dari PMK dalam rentang waktu yang dibolehkan kurban (tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah), maka hewan ternak tersebut sah dijadikan hewan kurban," tuturnya.
Sementara itu, untuk hewan yang terjangkit PMK dengan gejala klinis kategori berat tapi sembuh dari PMK setelah lewat rentang waktu yang dibolehkan berkurban (tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah), maka sembelihan hewan tersebut dianggap sedekah.
Sehingga, kata Niam, hewan itu tidak bisa dijadikan hewan kurban.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.