Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Samti Wira Wibawati
Peneliti

Mahasiswa, Dosen dan Tenaga Ahli DPR RI

Menakar Sikap Indonesia terhadap Rusia: Inkonsistensi atau Strategi?

Kompas.com - 31/05/2022, 07:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM skema internasional, setiap negara melakukan serangkaian upaya untuk mencapai kepentingan nasional. Salah satunya melalui hubungan kerja sama yang dijalin dengan negara lain.

Hubungan tersebut dilandasi dengan prinsip politik luar negeri yang digunakan sebagai salah satu instrumen diplomasi negara untuk mencapai seluruh kepentingan dalam lingkup domestik atau internasional.

Indonesia dalam praktik politik luar negeri mengimplementasikan prinsip “bebas aktif”.

Memaknai Politik “Bebas Aktif” Indonesia

Politik luar negeri bebas aktif yang dijadikan prinsip Indonesia lahir sejak akhir Perang Dunia II ketika terdapat Blok Barat dan Blok Timur.

Dengan dua ideologi berbeda yang ada saat itu, Indonesia memilih untuk tidak memihak pada kubu manapun.

Hal tersebut ditegaskan Mohammad Hatta dalam pidatonya ketika menghadiri Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 2 September 1948.

Dengan prinsip bebas aktif, Indonesia menegaskan bahwa sikap dan kebijakan Indonesia tidak akan dikendalikan oleh kepentingan politik dari negara atau aktor lain.

Prinsip ini kemudian diikat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama pasal 11 dan pasal 13 pada masa Demokrasi Terpimpin, Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 pada masa orde baru dan diperbaharui pada Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999.

Prinsip politik luar negeri “bebas aktif” yang tercantum dalam pasal 3 UU Nomor 37 tahun 1999 kini menjadi landasan operasional Indonesia dalam “bernegara” mencapai kepentingan nasional.

Kepentingan nasional dalam konsep power merupakan tonggak utama dalam politik luar negeri dan politik internasional yang realis.

Hal ini termanifestasi pada bentuk strategi diplomasi yang harus berlandas pada kepentingan nasional, bukan pada alasan moral, legal dan ideologi yang dianggap utopis atau bahkan berbahaya (Morgenthau, 1990).

Menariknya, Indonesia menjadikan landasan moral, yakni menjaga perdamaian dunia sebagai bagian dari kepentingan nasional.

Relevansi “bebas aktif” versi Indonesia harus menjadi sebuah gaya tersendiri yang mengafiliasi hubungan kekuasaan atau pengendalian terhadap relasi yang bisa diciptakan melalui teknik pemaksaan atau kerjasama yang “bebas dan aktif”.

Politik “bebas aktif” Indonesia dalam kontelasi hubungan internasional menurut Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, sudah tercermin dalam kebijakan luar negeri Indonesia saat ini, terutama dalam menjawab tantangan rivalitas di kawasan Indo-Pasifik.

Dengan politik “bebas aktif” Indonesia juga turut menjaga sentralitas dan soliditas ASEAN dalam menjadi jangkar stabilitas di kawasan.

Di samping kebijakan lain seperti aktif menyuarakan kemanusiaan di Rohingya, krisis politik Myanmar, perjuangan rakyat Palestina dan hak perempuan di Afghanistan.

Namun, bagaimana dengan Indonesia dalam konflik Rusia dan Ukraina?

Sikap Indonesia dalam konflik Rusia

Konflik Rusia dan Ukraina merupakan konflik yang sarat dengan kepentingan sejak tahun 1990-an. Hal ini dikarenakan adanya polarisasi politik yang membelah ideologi Ukraina menjadi dua: pro-demokrasi dan pro-Rusia.

Saat ini diketahui bahwa narasi politik pembangunan yang sedang dibangun oleh Pemerintah Ukraina bertujuan perluasan hubungan Ukraina dengan Barat melalui upaya bergabung dengan Uni Eropa dan NATO.

Sayangnya keinginan tersebut bukan hal yang mudah diwujudkan oleh Ukraina selama pengaruh politik dan legitimasi Rusia dalam sengketa teritorial eksternal dengan Ukraina belum terselesaikan.

Rusia saat ini menunjukan kekuatannya terhadap Ukraina dengan pengambilalihan Crimea, mengakui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk, hingga sampai menginvasi Ukraina.

Putin baru saja memberikan dua syarat terhadap Ukraina jika ingin invasi militer dihentikan, yakni Ukraina bersifat netral di kawasan dan dapat mengakui legitimasi Rusia atas Crimea.

Jika kesepakatan tidak terjadi, maka invasi akan terus dilakukan.

Hal tersebut mengundang protes dari banyak negara di dunia karena dinilai salah. Berbagai macam paket sanksi ekonomi dikeluarkan oleh Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Perancis dan Uni Eropa untuk Rusia.

Dewan Keamanan PBB dan NATO juga sudah memberikan respons terhadap kondisi tersebut, namun belum mampu menghentikan serangan.

Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengeluarkan pernyataan terkait Rusia-Ukraina. Selain menyebutkan tentang langkah strategis terhadap keamanan WNI di Ukraina, pernyataan juga berisikan penghormatan terhadap tujuan dan prinsip piagam PBB serta hukum internasional.

Kementerian Luar Negeri RI juga menyatakan bahwa serangan militer Rusia di Ukraina tidak dapat diterima karena menciderai nilai kemanusiaan dan telah menganggu stabilitas perdamaian dunia.

Inkonsistensi atau strategi “Politik Bebas Aktif”?

Pernyataan Kementerian Luar Negeri RI yang tegas tersebut tidak diperkuat dengan pernyataan dari Presiden Joko Widodo.

Jokowi hanya secara normatif menyampaikan melalui cuitan agar perang dihentikan dan penyelesaian konflik dilakukan dengan cermat.

Dalam kondisi tersebut, Jokowi gagal mengambil momentum untuk menunjukan terlebih dulu sikap pro-aktif Indonesia yang “berkekuatan”.

Inkonsistensi Indonesia nampak ketika Indonesia bersikap abstain dalam memberikan veto di Dewan Keamanan (DK) PBB terkait invasi Rusia ke Ukraina.

Meskipun memang Indonesia tidak lagi menjadi anggota tidak tetap di DK PBB, namun hal itu bukan berarti dapat dijadikan alasan Indonesia untuk tidak menyuarakan kebenaran dengan tegas di forum internasional.

Padahal, Indonesia mampu bersikap dengan jelas dalam konflik Afghanistan, Palestina dan Myanmar.

Forum G20 nantinya menjadi momentum puncak dari atensi dunia terhadap sikap apa yang akan diambil oleh masing-masing negara maju dan berkembang terhadap invasi Rusia ke Ukraina, khususnya Indonesia yang memiliki posisi sebagai Presidensi G20 tahun ini.

Hingga saat ini Indonesia tetap mengundang Rusia untuk hadir dalam forum internasional yang akan banyak membahas tentang kondisi perekonomian dunia.

Kehadiran Rusia tentu menjadi sorotan dari banyak pihak karena kecondongan dari banyak negara Barat yang mengecam tindakan Rusia.

Namun di lain sisi jika tekanan terhadap Rusia terlalu besar, maka ancaman akan penghentian ekspor minyak dunia membayangi.

Hal ini tentu menjadi dilema bagi banyak negara, juga mungkin Indonesia yang dalam lima tahun terakhir tercatat banyak peningkatan hubungan dagang dan investasi dalam berbagai sektor.

Sejatinya pemaknaan dari politik bebas aktif memang tidak dapat digeneralisasi, namun bukan berarti menjadi netral hingga terkesan timbul satu inkonsistensi adalah langkah yang bijak dalam merespons invasi.

Sudah saatnya, politik “bebas aktif” dimaknai sebagai satu strategi dari ketegasan yang terukur dalam bersikap benar tanpa adanya kekhawatiran akan intervensi atau pengaruh politik dari pihak lain.

Menimbang bahwa menjaga perdamaian dunia juga turut menjadi kepentingan nasional Indonesia, maka bersikap untuk menenangkan konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina adalah hal yang penting.

Saat ini Indonesia memiliki hubungan yang strategis dengan Rusia dari aspek ekonomi, pertahanan hingga sosial dan budaya.

Sepatutnya, hubungan tersebut dapat dijadikan instrumen diplomasi bagi Indonesia terhadap Rusia dalam menyuarakan upaya penghentian invasi militer di Ukraina melalui solusi yang tepat.

Di samping posisi tawar Indonesia yang cukup kuat saat ini karena menjadi center of gravity di ASEAN dan Presidensi dalam forum G20.

Oleh sebab itu, politik “bebas aktif” ala Indonesia harus diartikan sebagai salah satu bentuk “power” yang berarti ketegasan bersikap Indonesia pada prinsip yang dianggap benar hingga sampai pada kondisi pencapaian kepentingan nasional yang nilainya tidak tereduksi, termasuk kepentingan dalam turut menjaga perdamaian dunia yang hakikatnya menjadi bagian dari kepentingan nasional Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com