Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Ketika "Malu" Tidak Tahu Diri

Kompas.com - 13/05/2022, 13:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Saat garis katulistiwa membentang di Nusantara
Bongkahan tanah surga tersedia di sana
Hijaunya daun menghiasi paru-paru dunia

Kuningnya padi mewarnai Pulau Sumatra hingga Jawa
Batang sagu berjejer rapi hingga daratan Papua
Emas, intan, tembaga, dan perak terkubur di setiap tanah yang kita injak

Minyak dan gas tersembunyi di balik akar rerumputan
Rempah-rempah hingga milyaran jenis sayuran tumbuh subur di antara kita
Ikan segar hidup rukun di samudra nusantara

Sekolah hingga universitas terkemuka menyebar luas dari Sabang sampai Merauke
Ulama hingga Habib merasakan kedamaian yang tiada tara
Akademisi, peneliti, paranormal, dukun bayi, dukun santet sangat lengkap dengan karya mereka
Para penganut agama dan kepercayaan yang berbeda menghiasi tegaknya Binekha Tungga Ika

Harta pusaka Nusantara berada pada pelukan ibu pertiwi cantik jelita nan mempesona.
Wajah indahnya kembang Wijaya Kusuma, harum aromanya melekat bunga Melati, sorot matanya sinar matahari, senyum manisnya merasuk hingga ke pusat sukma, tertancap mahkota rembulan di atas kepalanya

Semua manusia ingin hidup bersamanya,
Negri tetangga terpesona melihat pancaran keindahan ibu pertiwi
Mereka cemburu buta tidak bisa bebas oleh pemerintahnya, satu per satu dari mereka datang, singgah di negri Nusantara

Kau tawarkan pembangunan nasional, kehancuran nasional wujudnya
Kau berikan utang untuk kestabilan ekonomi, kegoyahan ekonomi yang terjadi.
Kau bentuk pemerintah untuk kemudahan bernegara, eee malah ngrepotin rakyat saja.

Kau tawarkan pendidikan bermutu, berstandar nasional dan internasional, matrialisme yang mereka kenal
Tiba-tiba yang keluar dari mulutmu ; “Kalian adalah bangsa yang besar”.
Kau sendiri tidak tahu seberapa besarnya.

Gayamu yang tegas, gagah, berani bagaikan Rahwana. Tetapi bukan Rahwana seorang raja. Rahwana yang sedang mengincar Shinta
Hampir semua kebudayaan sudah di kebiri

Aktvis di gembosi, Ulama di ludahi, pemerintah di gobloki, sekolah dan kampus-kampus di racuni, akademisi di mutilasi, rakyat di apusi.
Profesor ditunjuk untuk menajadi provokator, gaya bicara ilmuwan menjadi serba kemungkinan, orang realistis bergeser kepada hal mistis, orang alim bertidak secara zholim, orang gila yang mereka percaya

Nusantara yang ku kenal dahulu adalah perawan bau kencur.
Sekian puluh tahun di perkosa secara begilir oleh tamu-tamu yang datang, menjadi janda hancur.
Apa sebenarnya fungsi dari pemimpin itu? disuruh jaga rumah, eee malah pintunya di buka semua.
Dibayar untuk menegakkan hukum, malah memonopoli hukum

Penggalan dari Puisi Begawan: “Tidak Punya Malu” yang ditulis aktivis Ismaro Tuban pada 2017 begitu kontekstual dengan jalannya zaman.

Jika dikaitkan dengan konteks kehidupan kita saat ini, begitu “bejibunnya” fenomena rasa tidak tahu malu bahkan menganggap tidak tahu malu adalah sebagian dari gaya hidup.

Tidak hanya masyarakat bawah yang notabene nirpendidikan, tetapi juga gejala ini merembet hingga ke masyarakat berpendidikan hingga elite-elite kita.

Bisa jadi masyarakat bawah yang berperilaku tidak tahu malu melihat dan copy paste kelakuan elite-elite yang selama ini memperlihatkan dengan vulgar.

Seorang pria bernama Zulfikar di Kota Dumai, Riau, tega menggangsir uang zakat yang dikumpulkannya melalui dana zakat di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kota Dumai.

Selama setahun, Zulfikar sepertinya tidak takut ketahuan, bahkan tidak takut dengan azab berhasil menyelewengkan dana zakat dan amil zakat di RSUD Kota Dumai senilai Rp 190 juta (Kompas.com, 12 Mei 2022).

Di Serang, Banten, Mantan Kepala Desa Kepandean, Ciruas dituntut 6 tahun 6 bulan penjara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Serang karena mengkorupsi dana desa sebesar Rp 695 juta.

Yusro sang mantan kades ini menggunakan dana desa yang notabene untuk meningkatkan kesejahteraan warganya, tetapi malah untuk membiayai pernikahannya dengan dua istri mudanya (Kompas.com, 12/05/2022).

Lain Dumai dan Serang, lain pula di Blora, Jawa Tengah. Sepasang suami istri yang bertugas sebagai polisi, yakni Bripka Etana Fany Jatnika dan Briptu Eka Mariyani menggunakan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai Rp 3 miliar.

Kedua sejoli polisi ini menggunakan dana korupsi tersebut untuk investasi online Paypal (Kompas.com, 11 Mei 2022).

Dari ketiga kasus pidana yang terkait “colong-mencolong” uang umat dan uang negara itu, mereka saja tidak gentar, bahkan bersemangat untuk meraup uang sebanyak mungkin.

Zulfikar melalaikan kewajibannya untuk mengumpulkan uang umat yang memang harus menyalurkan sebagian rezekinya untuk orang miskin yang berhak mendapatkan zakat.

Sementara mantan kades tidak sanggup menahan nafsu birahinya sehingga tidak bisa membedakan mana dana desa dan dana untuk peruntukkan penyamun.

Sedangkan pasangan suami istri berprofesi polisi yang “nyambi” menjadi garong tersebut, paham betul jabatan dan amanah yang diberikan atasan untuk mengelola dana yang masuk dari pungutan pengguna jasa, akan tetapi godaan menjadi ingin cepat kaya menjadi terbutakan.

Kisah uang negara untuk traktir cewek

Kegilaan yang tidak tahu malu juga dipertontokan Muhammad Farsha Kautsar, anak kandung terdakwa kasus dugaan korupsi di Direktorat Jenderal Pajak Wawan Ridwan.

Jika sang ayah rajin “memalak” wajib pajak dengan mengecilkan kewajiban pembayaran pajak sejumlah perusahaan tetapi ada setoran tunai sebagai balas jasanya, maka si anak “bertugas” menghambur-hamburkan uang pajak yang dikemplang bapaknya.

Bukannya masuk ke kas negara, uang tersebut justru mengalir ke kas Siwi Widi Purwanti mantan pramugari maskapai Garuda.

Alasan Siwi – yang sebelumnya pernah dikaitkan dengan mantan petinggi Garuda – mau menerima kiriman uang Rp 647,85 juta melalui 21 kali transfer dari Farsha sebagai teman dekat dan “biaya” ingin mencari perhatin (Kompas.com, 10/05/2022).

Sementara Farsha yang masih berkuliah, menganggap uang hampir Rp 9 miliar lebih di rekeningnya adalah hasil bisnis tukar menukar valas.

Padahal dari hasil penelusuran Komisi Pemberantasan Korupsi, uang tersebut merupakan aliran uang “panas” dari ayahnya yang mengakali wajib pajak.

Uang jajan bulanan Farsha yang diberikan ayahnya hanya Rp 5 juta, tetapi itu pun tidak terlacak di rekeningnya.

Mengikuti logika dan cerita pengakuan Farsha dan Siwi di persidangan, kita seperti sedang menertawakan akal sehat mereka.

Begitu mudahnya uang berpindah tangan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Urat malu dan urat-urat yang lain, saya rasa sudah putus duluan.

Uang yang difoya-foyakan harusnya masuk ke kas negara dan untuk kesejahteraan rakyat kecil.

Bukan untuk kesejahteraan mantan pramugari atau untuk memenuhi gaya hedon anak pegawai pajak sialan.

Untuk efek jera ke depannya, jerat hukum harus mengenai juga “pelaku-pelaku” korupsi lain seperti Farsha dan Siwi.

Pura-pura tidak tahu, pura-pura “bego” dan merasa tidak innocent menjadi dalil umum dari penikmat korupsi yang ingin terkesan suci lahir dan bathin.

Perilaku politisi jelang 2024

Bicara rasa tidak tahu malu, kini juga dipertontonkan oleh mereka yang ingin ngebet menjadi calon presiden walau kampanye belum mulai mengibarkan bendera start.

Tidak saja para kepala daerah yang akan habis masa jabatannya tetapi juga untuk pembantu-pembantu presiden saling berlomba menebar simpati untuk memikat rakyat.

Ada gubernur yang ketika mengunjungi suatu daerah, selalu mengaitkan silsilah keturunannya dengan daerah tersebut.

Dan ndilalah, sang gubernur ini juga pernah berkunjung ke daerah-daerah yang lain juga mengucapkan pernyataan serupa.

Kita semua jadi bingung, sebetulnya sang gubernur tersebut berasal dari daerah mana yang benar dan pastinya?

Lain waktu ada juga gubernur yang menentang dan mengecam tindakan-tindakan intoleransi yang ada di masyarakat, sementara di kampanye Pilkada-nya yang lalu justru sang gubernur ini begitu sarat dengan gaya-gaya kampanye yang intoleran.

Di mana rasa malunya sang gubernur ini jika jejak pernyataan-pernyataannya tidak terhapuskan?

Ada juga gubernur yang rela menaiki kereta api umum berbaur dengan warga yang mudik dari ibu kota menuju daerahnya.

Padahal selama ini tidak pernah melakukannya, biasanya menggunakan moda transportasi yang lebih cepat.

Kepentingan pencitraan dan pemanfaatan media sosial yang dikemas sedemikian rupa memang begitu mengasyikkan netizen.

Ada lagi cerita soal “kelakuan” menteri yang saya lihat setelah silahturahim dengan sahabat di Pulau Bangka saat pasca-Lebaran kemarin.

Saya kerap menjumpai poster menteri ini di sepanjang jalan dari Pangkalpinang ke Sungai Liat. Hampir setiap jengkal, saya selalu menemukan poster yang membosankan ini.

Penderitaan visual saya terus berlanjut saat ke anjungan tunai mandiri atau saat menunggu kopor yang akan keluar dari bagasi pesawat.

Jargonnya begitu membangkitkan semangatnya untuk menggapai mimpi menjadi penguasa negeri, sementara kopor saya dan ratusan penumpang lainnya tertahan hampir sejam lebih.

Betapa miris, perusahaan yang ada dinaungan kementerian sang menteri ini hanya untuk mengurus pengeluaran koper dari perut pesawat hingga ke pengambilan bagasi butuh waktu yang lumayan lama.

Sementara tayangan sang menteri mengganggu pendengaran dan pandangan saya yang tertuju ke koper.

Menteri-menteri yang memiliki partai tidak kalah sibuknya beranjangsana ke sana kemarin mencoba jalinan koalisi tanpa memikirkan tugas kementeriannya yang tertumpuk.

Bagi mereka, fasilitas negara yang dinikmatinya tidak ada salahnya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi dan partainya.

Seorang Jokowi tidak perlu berkali-kali untuk memerintahkan para menterinya untuk fokus berkeja.

Sebelum bertolak ke Washington, Amerika Serikat untuk berpartisipasi dalam pertemuan KTT Khusus ASEAN – AS (9/5/2022), Presiden Joko Widodo mengingatkan jajaran menteri di kabinetnya agar bekerja sesuai koridor tugasnya.

Peringatan ini menjadi ke dua kalinya dalam waktu satu bulan agar para menteri fokus bekerja dan tidak terganggu dengan agenda politik terkait pelaksanaan proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 (Katadata.co.id, 13 Mei 2022).

Melihat fenomena ketika “malu” tidak tahu diri yang melanda pejabat-pejabat di bawahnya, kita menagih komitmen Jokowi untuk bersikap tegas. Sekali lagi: tegas.

Ganti saja menteri-menteri yang “bergenit-genit” politik dengan orang lain yang mau bekerja benar.

Jokowi harus paham bahwa para pembantunya yang rajin mengejar elektabilitas hanyalah melupakan “malu” yang seharusnya dimiliki seorang pejabat untuk memikirkan rakyatnya.

Jangan lagi ada tragedi minyak goreng langka, solar dan BBM susah dicari, pupuk tidak terbeli dan hepatitis akut mengintai anak-anak kita tercinta.

Betapa susah mencari “malu” di negeri yang menganggungkan rasa malu harus ditutup rapat-rapat tak terendus.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Presiden Jokowi Bakal Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang Besok

Presiden Jokowi Bakal Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang Besok

Nasional
Di Forum MIKTA Meksiko, Puan Bahas Tantangan Ekonomi Global hingga Persoalan Migran

Di Forum MIKTA Meksiko, Puan Bahas Tantangan Ekonomi Global hingga Persoalan Migran

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi Kabinet ke Megawati, Pengamat: Itu Hak Presiden, Wapres Hanya Ban Serep

Gibran Ingin Konsultasi Kabinet ke Megawati, Pengamat: Itu Hak Presiden, Wapres Hanya Ban Serep

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com