Hal yang sesungguhnya bertentangan dengan esensi agama yang mengajarkan cinta kasih, kerja sama dan penghormatan sesama umat manusia, meski berbeda suku, ras dan agama.
Regulasi mengenai SARA telah diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 menggariskan pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Mereka diharamkan pula menghasut dan mengadu domba.
Namun realitasnya masih mudah kita jumpai di medsos maupun di dalam kehidupan nyata ungkapan narasi provokatif. Juga disebabkan karena belum tegasnya kriteria dan definisi tentang politisasi agama.
Maka diperlukan regulasi yang mampu memberi definisi yang jelas berupa norma yang diperlukan untuk membatasi orang melakukan politisasi agama.
Jika ada yang menerabas batas, maka hakekatnya adalah penegakan hukum bukan dimaknai “kriminalisasi” tokoh agama.
Saya sepakat dengan Buya Syafii Maarif yang mendeskripsikan dan memaknai politisasi agama adalah "Penggunaan agama untuk tujuan politik tanpa moral, etika, dan akal sehat".
Hal yang sesungguhnya berbahaya kalau dibiarkan jangan sampai yang terjadi di Suriah, Libya, Irak dan Afganistan konflik suku dan agama dalam balutan politik, menjadi konflik yang tidak berkesudahan terjadi di Indonesia.
Menurut hemat saya, pengusung Islamophobia dan phobia terhadap agama lain dalam bentuk narasi provokatif dan destruktif hakikatnya adalah aktor politisasi agama, dengan memanfaatkan simbol dan praktik ritual agama yang di-framing untuk mendegradasikan kandidat calon pemimpin atau kelompok yang berseberangan.
Contoh global juga dipraktikkan oleh Donald Trump dengan menyebarkan Islamophobia saat kampanye pilpresnya dengan melarang masuknya imigran Muslim.
Juga dipraktikan kandidat Presiden Perancis, LePen yang kebijakannya akan melarang pemakaian jilbab di tempat umum jika terpilih.
Demokrasi yang telah menjadi pilihan bagi Indonesia harus diterapkan secara konsisten dalam berbagai aspeknya.
Demokrasi dalam praktik politiknya harus menghadirkan vitue (meminjam istilah Plato) atau kebiasaan dan kebajikan publik.
Ketika budaya demokrasi sudah terbangun secara mapan, maka kemungkinan konflik dan kekerasan yang terkait agama dapat dicegah.
Nilai demokrasi mengakui bahwa perbedaan dan keragaman adalah realitas yang harus diterima dan dirayakan.
Karena keragaman akan menghasilkan inovasi dan kreatitas adalah energi positif bagi kemajuan bangsa.