“Kalau e-voting itu maksudnya langsung (mencoblos) online, itu masih sekitar 40 persen kabupaten belum terkoneksi internet, belum listriknya,” kata Hasyim dalam program GASPOL Kompas.com, Selasa (22/3/2022).
Hasyim mengatakan, mekanisme e-voting bisa bermacam-macam, dilihat dari praktik di berbagai negara.
Namun, apa pun metodenya, e-voting diklaim sangat bergantung pada tingkat kepercayaan publik di suatu negara.
Selain itu, keamanan data suara menjadi isu yang sangat disorot.
Ia mencontohkan, bagaimana Jerman, negara dengan teknologi maju dan kematangan demokrasi yang baik, akhirnya kembali ke sistem pemilu konvensional.
“Pertanyaannya, siapa yang bisa melacak server (yang berisi data suara), padahal pemilu ada aspek rahasia. Kalau kemudian datanya dipertanyakan, jangan-jangan digeser atau terbaik, itu yang menjadi pertimbangan hakim MK di Jerman membatalkan (e-voting), kembali pakai surat suara manual, kertas,” ujar dia.
Hasyim mengatakan, masyarakat Indonesia tergolong bukan masyarakat dengan kepercayaan politik yang tinggi.
Ia mencontohkan, saat warga mencurigai KPU pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017, hanya karena laptop yang digunakan merupakan barang hibah dari Pemprov DKI yang gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama, ikut dalam kontestasi.
“Makanya yang paling penting itu political trust terhadap proses,” kata Hasyim.
Berdasarkan hal tersebut, ia menilai, metode pemungutan suara secara konvensional masih jadi pilihan paling tepat saat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.