Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Klaim Luhut dan Cak Imin soal Ratusan Juta Dukungan Pemilu Ditunda: Semena-mena Mengatasnamakan Rakyat

Kompas.com - 18/03/2022, 06:24 WIB
Vitorio Mantalean,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Klaim sejumlah elite politik bahwa penundaan pemilu didukung ratusan juta orang berdasarkan "big data" dinilai kian tak terbukti.

Sebelumnya, klaim ini dilontarkan Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar pada 23 Februari lalu, disusul Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan baru-baru ini.

Cak Imin mengeklaim ada 100 juta orang mendukung wacana tersebut, sedangkan Luhut menyebut jumlahnya mencapai 110 juta, berdasarkan "big data" yang hingga sekarang tak berani dibuka keduanya.

"Ya pasti ada lah, masa bohong," begitu jawab Luhut ketika diminta buka-bukaan soal klaimnya, usai menghadiri acara Kick-off DEWG Presidensi G-20 2022 di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Selasa (15/3/2022).

Peneliti dari sejumlah lembaga survei yang tergabung dalam Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI) serta lembaga analisis data kompak meminta Luhut transparan soal klaim itu.

Baca juga: Drone Emprit: Isu Penundaan Pemilu Baru Ramai di Medsos Usai Klaim Big Data

Dalam diskusi yang dihelat di Jakarta, Kamis (17/3/2022), mereka mengajak pihak Luhut buka-bukaan data dan metodologi pengumpulan data, guna mengecek sejauh mana keduanya dapat dipertanggungjawabkan secara sains.

Sebab temuan mereka jauh berbeda dari klaim tangan kanan Presiden Joko Widodo itu.

Analisis big data dan survei membuktikan sebaliknya

Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi menemukan hasil social network analysis dari media sosial yang dilakukan Drone Emprit sejak 1 Januari hingga 16 Maret 2022, percakapan di jagat maya didominasi oleh pandangan kontra atas wacana menunda pemilu.

"Hanya ada 1 klaster. Tidak ada namanya pro dan kontra. Semuanya kontra," kata Fahmi dalam diskusi bersama sejumlah peneliti dari lembaga survei dan analisis data di Jakarta, Kamis (17/3/2022).

Pandangan kontra itu pun berasal dari semua kalangan, termasuk di antaranya akun-akun yang biasa mendukung pemerintah, akun-akun milik akademisi, hingga akun-akun yang biasa beroposisi dengan pemerintah.

"Terus ada buzzer-buzzer yang selama ini mendukung Pak Jokowi, semuanya juga kontra," kata Fahmi.

Temuan Drone Emprit senada dengan temuan sejumlah lembaga survei.

Baca juga: Klaim 110 Juta Dukungan Tunda Pemilu dari Big Data, Luhut Ditantang Buktikan 3 Hal Ini

Data Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Indikator Politik Indonesia (IPI) misalnya, sama-sama menemukan bahwa wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden ditolak oleh lebih dari mayoritas responden, baik pengguna media sosial dan bukan.

Para penolak wacana tersebut datang dari berbagai kalangan, termasuk para pemilih Jokowi pada pemilu sebelumnya maupun kalangan yang mengaku puas terhadap kinerja pemerintahan saat ini.

"Kalau ada yang mengeklaim bahwa jika puas maka ingin presidennya itu terus, itu klaim tidak berdasar. Karena ternyata warga bisa menghargai kinerja pemimpinnya, dan pada saat yang sama patuh pada konstitusi," ujar peneliti SMRC Deni Irvani dalam diskusi.

"Ada 82,5 persen pengguna media sosial menyatakan pemilu tetap harus 2024. Yang ingin diundur hanya 13 persen, sisanya tidak menjawab atau tidak tahu. Yang enggak punya media sosial juga sama," tambahnya.

Luhut ditantang jangan cuma klaim

Sejak 1 Januari 2022 hingga 16 Maret 2022, total hanya 98.595 percakapan tentang penundaan pemilu yang dapat dihimpun Drone Emprit.

Padahal, 1 akun di media sosial bisa melakukan lebih lebih dari 1 percakapan.

Temuan lain, perbincangan tentang penundaan pemilu malah baru marak setelah Cak Imin melontarkan klaim soal "big data" pada 23 Februari 2022. Pembicaraan itu pun didominasi penolakan wacana tersebut.

Baca juga: Soal Big Data 100 Juta Akun Dukung Penundaan Pemilu, Pakar: Konstitusi Tak Bisa Diinjak-injak Suara Netizen

"Dari 1 Januari hingga 23 Februari, kecil sekali pembicaraannya. Padahal, 23 Februari itu Cak Imin sudah bilang ada 100 juta orang (mendukung pemilu ditunda), itu data dari mana?" kata Fahmi.

"Di Twitter, hanya 68.000-an dari 23.644 akun Twitter, baik (yang dioperasikan) manusia maupun bot. Tweet aslinya tidak sebanyak itu karena jumlah retweet juga sudah kita hitung. Sudah dimark-up pun susah dapat 100 juta, apalagi 110 juta," lanjutnya.

Menurut Fahmi, setidaknya ada 3 hal yang perlu dibuktikan Luhut soal klaim dukungan dari "big data" itu agar kebenarannya bisa diverifikasi oleh pihak lain, yaitu kata kunci, periode penarikan data, dan sumber data.

Luhut perlu menerangkan dari mana 110 juta dukungan itu berasal, apakah dari media sosial Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, atau media sosial lain.

Semisal Twitter, perlu dijelaskan lebih rinci pula maksud 110 juta dukungan itu apakah berasal dari 110 juta akun atau 110 juta percakapan.

"Ketika ada klaim 110 juta, di Twitter itu tidak mungkin karena jumlah penggunanya saja hanya 18 juta," kata Fahmi.

Direktur IPI Burhanuddin Muhtadi menekankan bahwa lembaga-lembaga survei dan analisis data sudah berani buka-bukaan soal metode penelitian mereka.

Baca juga: Luhut soal Klaim Big Data Penundaan Pemilu: Kenapa Marah-marah? Ada yang Salah?

Luhut pun ditantang melakukan hal serupa untuk membuktikan klaimnya.

"Sains adalah metode. Bagaimana orang mengeklaim mereka menggunakan atau memiliki big data, dan yang diklaim itu mewakili publik, tanpa diketahui metodologinya?" ungkap Burhanuddin.

"Semena-mena mengatasnamakan rakyat. Rakyat dalam konteks demokrasi sangat penting nilai dan posisinya, kenapa mudah sekali diklaim, dibungkus dalam kata 110 juta dan semua dukung penundaan. Undang saja siapa data yang suplai data ke Pak Luhut," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com