JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani menilai, dinamika yang muncul setelah Demokrat berharap agar Presiden Joko Widodo meneken peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menghapus aturan presidential threshold dari 20 persen menjadi 0 persen, merupakan hal yang biasa.
Menurut dia, dalam politik wajar bila terjadi dinamika mengikuti hal yang berkembang di tengah masyarakat.
"Politik itu senantiasa dinamis sebagai respon atas dinamika yang berkembang di masyarakat. Dalam perjalanannya mencari dan menemukan bentuk wujud terbaik sebagai ikhtiar pendewasaan demokrasi adalah wajar jika ada up and down, trial and error dan sebagainya," kata Kamhar saat dihubungi Kompas.com, Minggu (19/12/2021).
Sejumlah pihak sebelumnya mempertanyakan sikap Demokrat yang berubah terhadap ketentuan presidential threshold.
Baca juga: Dulu Golkan Angka 20 Persen Demi SBY, Kini Demokrat Minta Presidential Threshold 0 Persen
Menurut Kamhar, perubahan dalam bersikap yang ditunjukkan Demokrat mengenai presidential threshold merupakan konsekuensi logis untuk mencapai demokrasi lebih tinggi derajat dan kualitasnya.
Oleh karena itu, Demokrat disebut menampung aspirasi yang berkembang di masyarakat perihal tingginya presidential threshold sebesar 20 persen.
"Lebih kontekstual dan kekinian sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat," ucapnya.
Di sisi lain, Kamhar beralasan, presidential threshold 20 persen juga menjadi tak relevan lagi karena Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) dilaksanakan secara serentak pada 2024.
Dia berpandangan, hal tersebut berbeda dengan Pemilu 2004 dan 2009 yang menerapkan presidential threshold, lantaran lebih dahulu Pileg baru kemudian Pilpres.
"Sehingga, besaran perolehan Pileg dipersepsikan sebagai insentif politik tambahan bagi partai politik yang telah mendapatkan mandat rakyat sebagai perwakilannya di parlemen untuk Pilpres," tutur Kamhar.
Baca juga: Pasal Presidential Threshold: Berkali-kali Digugat, Berulang Kali Ditolak MK
Masih dengan argumennya, Kamhar mengungkapkan bahwa presidential threshold 20 persen juga telah menyajikan tontonan di mana terhambatnya putra putri bangsa dalam kontestasi kepemimpinan nasional.
Ia mencontohkan hal tersebut dengan berkaca pada dua pemilu terakhir yaitu Pemilu 2014 dan 2019. Dia menyebut, presidential threshold menjadi batu sandungan dan penghambat bagi tampilnya putra putri terbaik bangsa di kancah kontestasi Pilpres.
"Malah dijadikan alat politik yang hanya menyajikan dua pasang calon sehingga terjadi pembelahan di masyarakat yang semakin membuka lebar jurang distoris demokrasi," terangnya.
Kamhar menilai, hal itu menjadi sebuah kewajaran jika publik dan kelompok masyarakat madani merespons untuk menghilangkan presidential threshold 20 persen.
Pasalnya, ia berpendapat presidential threshold sebesar itu terlalu berisiko bagi kelangsungan demokrasi karena menghambat banyaknya putra putri yang bersaing untuk memimpin bangsa.
"Apalagi, UUD 1945 dan hasil amendemen tak mengenal presidential threshold," tambah Kamhar.
Baca juga: Demokrat Harap Jokowi Teken Perppu PT 0 Persen, Pengamat Duga untuk Usung AHY dalam Pilpres 2024
Lebih lanjut, ia mengatakan, memperjuangkan penghapusan presidential threshold merupakan kesadaran dan tanggungjawab sejarah agar semakin banyak putra putri bangsa berkualitas dan handal mendapatkan kesempatan memimpin bangsa.
Kemudian, Kamhar juga menilai dampak positif bahwa penghapusan ambang batas itu semakin membuat rakyat disajikan berbagai pilihan sosok pemimpin bangsa ke depannya.
Di sisi lain, tambah dia, partai politik peserta pemilu juga akan memperoleh haknya dalam menjalankan fungsi rekrutmen kepemimpinan nasional apabila presidential threshold dihapuskan.
"Diskursus demokrasi yang berkembang di ruang publik juga lebih sehat dan berkualitas. Jadi yang kita mau dan kita tuju adalah perubahan yang lebih baik dengan menghilangkan presidential threshold," tegas Kamhar.
Diberitakan, Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Panjaitan beranggapan bahwa rezim Joko Widodo seharusnya ambil inisiatif untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden.
Hinca menilai, banyak kalangan kini memiliki aspirasi yang sama, yakni penetapan presidential threshold dari 20 menjadi 0 persen, sesuatu yang diperjuangkan Demokrat sejak Pilpres 2019.
"Saya membaca suasana ini keinginan bersama, termasuk raja-raja Nusantara, tokoh-tokoh, anak-anak muda, tidak bisa dihentikan ini," kata Hinca kepada wartawan di Kompleks DPR RI, Kamis (16/12/2021).
"Saya kira berdemokrasi dan pesta demokrasi di 2024 dengan pasangan yang lebih banyak menjadi kebutuhan, harapan, keinginan semua kita. Saya kira pemerintah yang sedang berkuasa harus mendengarkan itu," jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.