Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mukhijab
Dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta

Dr. Mukhijab, MA, dosen pada Program Studi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

Mas Menteri Vs Rektor soal Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Kompas.com - 10/12/2021, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TERDAPAT situasi gawat darurat di perguruan tinggi (PT) dalam kasus kekerasan seksual. Karena itu, universitas harus membentuk “satuan tugas” antikekerasan seksual.

Pandangan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim itu, merupakan pukulan telak bagi jajaran PT negeri maupun swasta nasional, yang terkesan menyepelekan skandal seksualitas di universitas mereka.

Sebagai rumah bagi komunitas para intelektual dan kawah candradimuka calon-calon intelektual serta pemegang estafet kepemimpinan nasional, Mas Menteri membaca terdapat problem sosial serius di dalamnya.

Rujukannya, laporan data Komisi Nasional Perempuan 2015-2020 bahwa pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen di antaranya kasus itu terjadi di PT.

Hasil survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2020 menguatkan pendapat Mas Menteri bahwa 77 persen dosen yang menjadi responden menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampusnya, dan 63 persen korban tidak melaporkan kasusnya kepada pihak kampus.

Mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan. Kesimpulannya, peristiwa kekerasan seksual di PT adalah fenomena gunung es.

Agar jelas akar persoalan dan solusinya, skandal demikian harus digaruk-garuk supaya kasusnya kelihatan di permukaan.

Tujuannya melindungi para mahasiswa yang menjadi korban, yang umumnya kalangan perempuan.

Sikap Nadiem Makiem menggambarkan suasana batin pejabat tinggi muda itu, sebagai lulusan dari perguruan tinggi internasional, dalam hal ini alumni Hubungan Internasional Universitas Brown, Amerika Serikat, Master of Business Administration di Harvard Business School.

Iklim keterbukaan dan simpati serta empati pada persoalan hak asasi manusia menjadi mata batinnya dalam melihat persoalan nasib para mahasiswa korban kekerasan seksual di PT.

Terselip pesan, korban kekerasan seksual harus mendapat keadilan.

Sebelum Mas Menteri mengungkit masalah ini, para pimpinan PT belum transparan dalam menghadapi tindak asusila tersebut di kampus mereka.

Sikap Mas Menteri bersikeras untuk “membersihkan” kampus dari skandal seks, menjadi harapan baru agar para pimpinan PT lebih progresif dan terbuka menghadapi skandal kekerasan seksual.

Sebagai pemimpin muda, Nadiem Makarim membaca sikap PT yang terkesan toleran terhadap kasus-kasus asusila di PT tidak sesuai dengan karakter civitas akademika yang seharusnya mengedepankan transparansi dan empati terhadap skandal yang merongrong hak asasi manusia.

Sikap menteri yang demikian belum tentu klop bagi pimpinan perguruan tinggi, yang berpandangan bahwa kekerasan seksual di kampus-kampus sebagai imajinasi Mas Menteri.

Terdapat kasus penistaan seksual di mata para pimpinan PT, tetapi itu tidak semasif yang dibayangkan Mas Menteri.

Seksualitas dalam level budaya

Kekerasan seksualias di PT perlu dipahami dalam perspektif kebudayaan.

Mengikuti logika budayawan Van Peursen (1976), ketika pola berpikir kita level vegetasi atau mitologi, seksualitas beserta efek fisik maupun psikis yang terjadi di dalamnya sebagai peristiwa kosmis yang biasa.

Dia membaca gambar perilaku elit kerajaan Mesir kuno saat “dewa bumi” (Geb) ingin hubungan seks dengan istri dan adik perempuan istri (Nut) dalam waktu bersamaan.

Para anggota elite keluarga kerajaan menganggap itu perilaku alamiah.

Memasuki tahap hidup produksi atau ontologis, perilaku seksualitas mendapat perlindungan sosial dan agama.

Fungsi seksualitas bukan peristiwa kosmis yang biasa, terdapat tujuan regenerasi atau menghasilkan keturunan dan terdapat dosa dalam perilaku seksualitas illegal dan asusila.

Pada zaman Ratu Victoria (24 Mei 1819 – 22 Januari 1901), segala ornament seksualitas tidak boleh diumbar.

Begitu juga perilakunya, seksualitas harus berlandasarkan kesusilaan dan kemanusiaan, serta dikendalikan oleh norma-norma sosial dan agama.

Memasuki level konsumsi atau fungsional, seksualitas yang semula digambarkan Van Peursen terdesak oleh norma-norma sosial dan agama, justru naik panggung terbuka lagi.

Pembaruan dalam etika seksual, teknik-teknik erotis, pembedahan alat vital, obat-obat yang mengatur evolusi, dan pandangan-pandangan teologis baru.

Seks bisa diposisikan sebagaimana layaknya barang konsumsi, maka seksualitas bisa tak terbatas, tanpa arah, yang penting terdapat penghayatan nilai erotis seksualitas.

Seksualitas bebas dan terbuka menjadi semacam perilalu eksibisionis sekaligus artistik.

Mengikuti perspetif seksualitas dari Van Peursen, pandangan masyarakat di Indonesia, termasuk komunitas perguruan tinggi, mengalami semacam paradox.

Terdapat orientasi perilaku seksualitas sebagai kosmis yang alami dan teleran terhadap penyimpangan perilaku seksualitas (berpikir mitologis).

Terdapat ikatan terhadap regulasi sosial dan agama yang menganggap seks ilegal sebagai tabu dan dosa (berpikir ontologis).

Terdapat juga orientasi seks sebagai konsumsi, yang di dalamnya seks bebas, tanpa ikatan hukum, sebagai hiburan atau kepuasan batiniah (berpikir fungsional).

Mengikuti peta berpikir tentang seksualitas yang acakadut (baca=beragam), maka polarisasi sikap antara masyarakat awam, masyarakat kampus, dan pejabat publik di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi –Mas Menteri dan jajarannya—menjadi kerikil tajam untuk mendapat solusi secara transparan masalah kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Mas Menteri cenderung melihat kekerasan seksual sebagai problem etika, sosial, dan hukum, maka itu harus diangkat ke permukaan dan diproses sesuai standar etika sosial, komitmen perguruan tinggi, dan hukum.

Sementara masyarakat awam bisa mengarah kepada pandangan emosional, para pelaku kekerasan seksual harus ditindak dan dihukum setimpal.

Sedangkan masyarakat PT bisa berdebat panjang, bagaimana menyikapi dan bertindak terhadap kasus asusila itu?

Kalau transparan sebagaimana sikap Mas Menteri, bagi pimpinan PT ini seperti menepuk air di dulang terpercik ke muka sendiri.

Sebaliknya mereka tertutup dan tidak akomodatif terhadap solusi memadai, maka terdapat ironi, bagaimana bisa kalangan intektual menutup diri, berdiam diri terhadap problem sosial di rumahnya sendiri?

Terdapat dua contoh kasus kekerasan seksual di kampus negeri dan swasta besar dan ternama di Yogyakarta, pada 2019 dan 2000.

Yaitu kasus Agni, mahasiswi PT negeri, korban asusila dari temannya pada waktu Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Lalu, kasus IM, dosen PT swasta yang diduga melakukan tindak asusila kepada 30 perempuan (2016-2020).

Kasus pertama, PT tempat korban dan pelaku kuliah mendamaikan, sementara kasus kedua pihak universitas tempat IM kuliah di luar negeri, dan kampus di dalam negeri tempat IM mengajar tidak melihat bukti kuat perilaku asusila tersebut.

Dua kasus ini mengindikasikan jajaran PT belum bisa tegas dan masih toleran terhadap kasus-kasus kekerasan seksual, sementara harapan Mas Menteri semua skandal asusila harus diproses secara adil dan setara.

Ada problem kekuasaan?

Sikap elegan Mas Menteri terhadap skandal kekerasan seksual di PT dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan PT.

Ayat (1 dan 2) peraturan tersebut memerintahkan Pemimpin PT membentuk Satgas PT yang terdiri dari tiga orang, dan maksimal tujuh orang anggota, diseleksi oleh panitia seleksi internal PT.

Dalam pasal 57 peraturan tersebut, PT harus membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di PT dalam tempo maksimal satu tahun sejak peraturan diterbitkan pada 3 September 2021.

Membaca pengalaman sikap PT terhadap skandal kekerasan seksual pada masa lalu, apakah para pimpinan universitas bersedia untuk transparan dalam mengatasi kekerasan seksual, sekaligus bersedia membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di kampus masing-masing?

Eksistensi Satgas Anti Kekerasan Seksual di kampus menunjukkan komitmen formal PT untuk tidak toleran terhadap tindak asusila tersebut.

Terdapat beberapa skenario sikap PT terkait strategi menyelesaikan tindak asusila para mahasiswa maupun civitas akademika.

Skenario pertama, jajaran PT menolak untuk membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Alasannya, kasus semacam itu jarang terjadi di kampus mereka. Kemudian alasan pembiayaan, pembuatan lembaga otonom baru memerlukan anggaran. “

"Nggak ada satgas anti kekerasan seksual di kampus ini,” kata kolega penulis.

Skenaro dua, jajaran PT bersedia untuk membentuk satgas dimaksud. Para pimpinan PT yang akomatif terhadap gagasan satgas tersebut harus siap untuk memasuki era transparansi, empati, dan setara dalam memperlakukan para korban dan pelaku kekerasan seksual di kampus.

Skenario ketiga, perguruan tinggi membentuk satgas sekadar memenuhi perintah Mas Menteri, tanpa disertai komitmen operasionalisasi satgas, dan sikap tegas terhadap semua tindak asusila yang melibatkan dosen, karyawan, dan mahasiswaya.

Mengekor pandangan Michael Foucault (2015), ranah seksualitas bersentuhan dengan kekuasaan.

Sejarah seksualitas menjadi strategi untuk memahami bagaimana pemaksaan norma-norma moral dari kekuasaan ingin mendapatkan dan mengendalikan perilaku seksualitas yang normatif dan legal, yaitu mendapat keturunan, distribusi kekayaan (warisan), dan mendapatkan kepatuhan dari keseluruhan tubuh sosial.

Maka terdapat teknik-teknik polimorfi (polymorphe) atau teknik memprogram kekuasaan, yang tujuannya mengendalikan perilaku seksual maupun wacana tentang seksualitas.

Dalam konteks PT, yang bisa mengatur mekanisme organisasi demikian adalah para rektor dan jajarannya atau representasi mereka, dalam hal ini Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Mereka bisa mengendalikan kasus asusila masuk kekerasan seksual atau bukan, diselesaikan terbuka atau tertutup, pelaku ditindak tegas atau diambangkan, korban dilindungi atau “ditelantarkan”.

Maka, sebagai pemangku kebijakan, para rektor dan jajarannya bisa saja memboikot perintah pembentukan satgas antikekerasan seksual di kampus untuk kepentingan efisiensi anggaran dan memertahankan zona nyaman.

Atau pimpinan PT sekadar menghindari buli dari masyarakat dan sanksi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, maka mereka tertentu sekedar membentuk satgas untuk lips service.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com