Fungsi seksualitas bukan peristiwa kosmis yang biasa, terdapat tujuan regenerasi atau menghasilkan keturunan dan terdapat dosa dalam perilaku seksualitas illegal dan asusila.
Pada zaman Ratu Victoria (24 Mei 1819 – 22 Januari 1901), segala ornament seksualitas tidak boleh diumbar.
Begitu juga perilakunya, seksualitas harus berlandasarkan kesusilaan dan kemanusiaan, serta dikendalikan oleh norma-norma sosial dan agama.
Memasuki level konsumsi atau fungsional, seksualitas yang semula digambarkan Van Peursen terdesak oleh norma-norma sosial dan agama, justru naik panggung terbuka lagi.
Pembaruan dalam etika seksual, teknik-teknik erotis, pembedahan alat vital, obat-obat yang mengatur evolusi, dan pandangan-pandangan teologis baru.
Seks bisa diposisikan sebagaimana layaknya barang konsumsi, maka seksualitas bisa tak terbatas, tanpa arah, yang penting terdapat penghayatan nilai erotis seksualitas.
Seksualitas bebas dan terbuka menjadi semacam perilalu eksibisionis sekaligus artistik.
Mengikuti perspetif seksualitas dari Van Peursen, pandangan masyarakat di Indonesia, termasuk komunitas perguruan tinggi, mengalami semacam paradox.
Terdapat orientasi perilaku seksualitas sebagai kosmis yang alami dan teleran terhadap penyimpangan perilaku seksualitas (berpikir mitologis).
Terdapat ikatan terhadap regulasi sosial dan agama yang menganggap seks ilegal sebagai tabu dan dosa (berpikir ontologis).
Terdapat juga orientasi seks sebagai konsumsi, yang di dalamnya seks bebas, tanpa ikatan hukum, sebagai hiburan atau kepuasan batiniah (berpikir fungsional).
Mengikuti peta berpikir tentang seksualitas yang acakadut (baca=beragam), maka polarisasi sikap antara masyarakat awam, masyarakat kampus, dan pejabat publik di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi –Mas Menteri dan jajarannya—menjadi kerikil tajam untuk mendapat solusi secara transparan masalah kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Mas Menteri cenderung melihat kekerasan seksual sebagai problem etika, sosial, dan hukum, maka itu harus diangkat ke permukaan dan diproses sesuai standar etika sosial, komitmen perguruan tinggi, dan hukum.
Sementara masyarakat awam bisa mengarah kepada pandangan emosional, para pelaku kekerasan seksual harus ditindak dan dihukum setimpal.
Sedangkan masyarakat PT bisa berdebat panjang, bagaimana menyikapi dan bertindak terhadap kasus asusila itu?
Kalau transparan sebagaimana sikap Mas Menteri, bagi pimpinan PT ini seperti menepuk air di dulang terpercik ke muka sendiri.
Sebaliknya mereka tertutup dan tidak akomodatif terhadap solusi memadai, maka terdapat ironi, bagaimana bisa kalangan intektual menutup diri, berdiam diri terhadap problem sosial di rumahnya sendiri?
Terdapat dua contoh kasus kekerasan seksual di kampus negeri dan swasta besar dan ternama di Yogyakarta, pada 2019 dan 2000.
Yaitu kasus Agni, mahasiswi PT negeri, korban asusila dari temannya pada waktu Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Lalu, kasus IM, dosen PT swasta yang diduga melakukan tindak asusila kepada 30 perempuan (2016-2020).
Kasus pertama, PT tempat korban dan pelaku kuliah mendamaikan, sementara kasus kedua pihak universitas tempat IM kuliah di luar negeri, dan kampus di dalam negeri tempat IM mengajar tidak melihat bukti kuat perilaku asusila tersebut.