Sabtu sore, (4/12/2021) menjadi mimpi buruk bagi warga yang berada di sekitar Gunung Semeru.
Gunung yang terletak di Kabupaten Malang dan Lumajang, Jawa Timur ini ‘tiba-tiba’ erupsi dan memuntahkan awan panas, lahar dan lava pijar.
Belakangan ahli vulkanologi menyebutnya bukan erupsi, namun guguran magma.
Kabupaten Malang dan Lumajang kena imbas ‘erupsi’ gunung tertinggi di Jawa ini.
Bahkan sejumlah wilayah di Kabupaten Lumajang sempat gelap gulita karena tertutup awan akibat letusan gunung yang jadi primadona para pendaki.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, sekitar 10 kecamatan terdampak bencana ini.
Ribuan warga terpaksa mengungsi. Sementara puluhan orang meninggal dan dinyatakan masih hilang.
Hingga Selasa (7/12/2021), tercatat 34 orang meninggal dunia, 22 hilang dan 22 luka berat.
Lima ribu lebih rumah warga terdampak akibat guguran magma ini. Akibatnya, 4.250 warga menjadi pengungsi.
‘Erupsi’ Gunung Semeru ini mengagetkan banyak orang. Pasalnya, status gunung ini masih Waspada atau level II.
Karena lazimnya, jika sebuah gunung berapi akan ‘memuntahkan isi’, dia sudah memasuki level IV atau status Awas. Gunung Merapi, misalnya.
Selain itu, kabarnya sistem peringatan dini atau ‘early warning system’ gunung ini juga tak berfungsi.
Sementara laporan aktivitas gunung api di Magma Indonesia, laman resmi milik Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) tercatat tidak ada peringatan dini yang menyebutkan bahwa gunung api tertinggi di pulau Jawa ini bakal ‘erupsi’.
Guguran magma Gunung Semeru menambah daftar panjang bencana alam yang menimpa negeri ini.
Selain guguran magma Semeru, banjir juga merendam sejumlah wilayah di nusantara mulai dari Pulau Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi hingga Nusa Tenggara.
Di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat banjir bahkan merendam permukiman warga hingga beberapa pekan.
Banjir yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia ini tak hanya merendam rumah warga, fasilitas umum dan kantor pemerintahan, namun juga merendam perkebunan dan lahan pertanian.
Tak hanya harta benda, bencana alam ini juga merenggut korban jiwa.
Cuaca ekstrem yang menyebabkan curah hujan tinggi dituding sebagai biang keladi dari terjadinya bencana alam ini.
Menurut sejumlah ahli, salah satu penyebab banjir bandang adalah meluapnya aliran sungai karena curah hujan yang cukup signifikan.
Curah hujan yang signifikan ini dipicu oleh berbagai kondisi atmosfer.
Merujuk laporan BNPB, banjir menjadi bencana alam yang paling banyak terjadi. Hingga akhir November 2021 saja sudah seribu lebih angkanya.
Kemudian disusul puting beliung dan tanah longsor. Gelombang pasang, abrasi dan kekeringan juga mewarnai bencana yang menimpa negeri ini.
Jutaan orang menjadi korban akibat maraknya bencana alam dan harus menjadi pengungsi.
Belasan ribu orang mengalami luka-luka, ratusan orang meninggal dunia dan puluhan orang dinyatakan hilang.
Bencana alam juga menghancurkan permukiman, fasilitas pendidikan, kesehatan, perkantoran hingga jembatan.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi, curah hujan tinggi masih berpotensi terjadi selama beberapa hari ke depan.
Hampir semua wilayah di tanah air diprediksi berpotensi alami curah hujan tinggi yang bisa menyebabkan banjir.
Selain faktor alam, kerusakan lingkungan dituding jadi penyebab maraknya bencana alam.
Penambangan dan masifnya pembukaan lahan untuk perkebunan dianggap menjadi biang dari terjadinya bencana alam, khususnya longsor dan banjir bandang.
Jadi berbagai bencana alam yang terjadi belakangan ini murni karena faktor alam atau salah kebijakan?
Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (8/12/2021), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.