Anggaran sebesar ini akan digunakan oleh 106 anggota DPRD DKI.
Jika dibagi dengan jumlah anggota Dewan, maka setiap anggota akan memperoleh alokasi Rp 38,4 juta untuk satu hari kunjungan setiap bulan. Atau sebulan Rp 4 miliar untuk 106 anggota Dewan (Kompas.com, 15/11/2021).
Jika merujuk kepada alokasi gaji untuk anggota DPRD DKI di APBD Tahun 2020 yang tidak mengalami perubahan pada tahun berikutnya, total anggaran gaji anggota DPRD adalah sekitar Rp 152,33 miliar.
Besaran tersebut mencakup gaji dan tunjangan pokok, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan reses, dan tunjangan transportasi.
Jika dirata-ratakan, maka anggota DPRD masing-masing mendapatkan dana sekitar Rp 119,75 juta per bulan. Pendapatan ini belum dipotong pajak.
Baca juga: Anggaran Kunjungan Dapil DPRD DKI Rp 49 Miliar Tak Disetujui karena Tak Ada Payung Hukum
Jika pihak legeslatif begitu “ngotot” meminta kenaikan dana Dapil, maka pihak eksekutif pun juga “menekan” dengan tambahan kenaikan anggaran untuk Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).
Sepertinya, baik eksekutif dan legeslatif tidak mau kalah untuk memaksimalkan “pembagian” dari rezeki besar APBD DKI Jakarta tahun 2022 sebesar Rp 82,47 triliun yang telah disepakati bersama, baik oleh DPRD maupun pihak Pemrov DKI.
Semula untuk pos TGUPP yang beranggotakan “gemuk” dan lazim menampung keberadaan tim sukses kampanye pemilihan gubernur-wakil gubernur di Pilkada lalu, diusulkan Rp 19,8 miliar.
Karena output kerjanya “dipertanyakan” dan eksistensinya malah membuat gaduh, Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi memotong usulan tersebut, dan kini tinggal Rp 12,5 miliar.
Berbeda dengan era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang membiayai TGUPP dengan dana operasional gubernur, justru di era Anies Baswedan malah diambil dari APBD.
Untuk 68 anggota TGUPP, honor selama 10 bulan sebesar Rp 12,5 miliar bukan sebuah angka yang “receh” (Kompas.com, 24/11/2021).
Korupsi itu mencuri
Mencuri uang anak negeri.
Korupsi itu merampok
Mengambil dana yang digembok.
Korupsi merugikan Negara.
Dana yang mestinya ada hilang entah kemana
Korupsi itu dosa.
Membuat sengsara masa depan bangsa
Korupsi itu lawan dari cinta.
Kejahatan luar biasa yang membabi buta
Korupsi itu buat kita tak bahagia.
Karena, Manusia serakah yang gila dunia
Korupsi itu menghambat roda pembangunan. .merusak sendi kehidupan…..
Bagaimana tidak….
Anggaran 200 Juta karena korupsi tertulis 300 atau 400 Juta.
Jembatan yang semen dan besinya dikorupsi akhirnya tak bertahan 50 tahun lagi.
Kini harus selalu sadari…..
mari lawan Korupsi sejak dini dan dari diri sendiri.
Ajak setiap komisi serta Fraksi untuk berjama’ah basmi korupsi
Jangan diam ! bila ada yg berbuat korupsi, bicara! Karena, diam adalah tanda pengkhianatan.
Bicara, sampaikan kalau memang ada gerak gerik rugikan negara
Berani Jujur itu Hebat !
Berani Korupsi, siap-siap masuk jeruji besi
Lawan Korupsi, Mari Bangun Negri …cari ridho illahi, bahagia dunia reuni di surga nanti
Puisi yang berjudul “Korupsi” ini ditulis oleh Rokhmad, anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur di penghujung 2019.
Entah ingin mengingatkan dirinya sendiri atau ingin mengajak koleganya di parlemen, setidaknya puisi ini mengungkapkan betapa destruktifnya bahaya korupsi.
Korupsi merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan melalui perilaku yang tidak etis dan tidak jujur demi keuntungan pribadi dan kelompok.
Tidak saja dalam bentuk suap, gratifikasi atau permainan tender, korupsi juga bisa dilakukan secera terselubung dengan menggunakan instrumen ”penyelundupan” aturan yang dibuat eksekutif dan legeslatif.
Merujuk kasus Jakarta, jika dana Dapil akhirnya diloloskan dan mendapat persetujuan parlemen dan tidak ada keberatan dari pihak eksekutif dalam pembahasan RAPBD, pada akhirnya parlemen juga harus “mengerti” kemauan pihak eksekutif.
Dukungan yang cukup besar dari anggota DPRD DKI akan terselenggaranya lomba balapan formula listrik dan pembangunan sumur serapan yang dilakukan “asal-asalan” bisa jadi karena tidak berjalannya fungsi “check and balances” dari parlemen.
Akan lucu dan menggelikan jika biaya besar yang dibutuhkan lomba balapan formula listrik dan spektakulernya pembuatan semur resapan “abal-abal” tidak membuat anggota Dewan menjadi berang dan marah.
Melihat pola-pola “memanfaatkan” sebesar-sebesarnya APBD untuk kemakmuran elite di pusaran eksekutif dan legislatif serta mengabaikan kondisi rakyat sekarang ini, harapan kita satu-satunya adalah menajamkan daya kritis dari seluruh elemen masyarakat.
Bayangkan saja, anggaran kunjungan ke Dapil yang disorongkan anggota DPRD DKI sebesar Rp 49 miliar, jauh lebih besar ketimbang pos anggaran untuk renovasi sekolah di DKI Jakarta yang dipatok di angka Rp 21 miliar.
Jadi jangan heran dengan kejadian ambruknya sekolah di Jakarta – sekalipun sedang direnovasi – karena memang biaya renovasinya tergolong minim.