Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat, Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah dan DPR?

Kompas.com - 26/11/2021, 16:17 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji formil Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam putusannya MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Artinya, pemerintah dan DPR wajib melakukan perbaikan paling lama 2 tahun sejak putusan dibacakan.

Merespons hal itu, pemerintah diwakili Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan akan segera menyiapkan perbaikan UU Cipta Kerja sebagaimana arahan MK.

"Pemerintah akan segera menindaklanjuti Putusan MK yang dimaksud melalui penyiapan perbaikan undang-undang dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya arahan Mahkamah Konstitusi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK tersebut," kata Airlangga dalam konferensi pers yang ditayangkan YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (25/11/2021).

Baca juga: Yusril Sarankan Pemerintah Lakukan Dua Hal Ini untuk Tindak Lanjuti Putusan MK soal UU Cipta Kerja

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah dan DPR menindaklanjuti Putusan MK itu?

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, pemerintah dan DPR harus memperbaiki UU Cipta Kerja sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Feri mengingatkan, partisipasi publik harus disertakan mengingat pembentukan UU Cipta Kerja sebelumnya minim aspirasi masyarakat.

"Memperbaiki prosedur UU Cipta Kerja bermakna memperbaiki tata cara pembentukan agar sesuai ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 juncto UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), termasuk dalam rangka menampung partisipasi publik," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (26/11/2021).

Menurut Feri, putusan uji formil ini bersifat sangat penting. Melalui putusannya MK mengoreksi pemerintah dan DPR dalam tata cara pembentukan UU Cipta Kerja.

MK memerintahkan agar perbaikan UU Cipta Kerja disesuaikan dengan ketentuan formil dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Oleh karenanya, pembentuk UU harus memulai dari tahapan awal pembentukan, terutama soal partisipasi publik yang lemah dan ketidaksesuaian dengan format pembentukan UU yang baik.

Baca juga: Putusan MK soal UU Cipta Kerja Dinilai Tidak Tegas, Belum Sentuh Aspek Materiil

Dengan demikian, kata Feri, proses pembentukan UU Cipta Kerja harus dimulai dari tahap awal dan mesti sesuai dengan konsep 1 klaster isu saja atau menggabungkan UU sejenis.

"Jika masih model UU Cipta Kerja saat ini yang menggabungkan banyak jenis UU maka akan bertentangan dengan UU PPP juga bertentangan dengan Putusan MK," ucap Feri.

Feri tidak ingin tindak lanjut yang diambil pemerintah dan DPR justru merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sebab, UU tersebut adalah aturan hukum yang seharusnya menjadi pedoman bagi pembentukan UU Cipta Kerja yang lebih baik.

Jika untuk menindaklanjuti Putusan MK ini pemerintah dan DPR mengubah UU PPP, kata Feri, maka yang terjadi adalah UU Cipta Kerja dipaksa pelaksanaannya. Sedangkan UU lainnya menyesuaikan dengan UU Cipta Kerja itu sendiri.

"Selain itu, jika dilakukan perbaikan UU PPP maka pembentuk UU menjalankan perintah hakim yang dissenting opinion (D.O), padahal D.O bukanlah amar putusan yang harus dilaksanakan," kata Feri.

Baca juga: AHY: Putusan MK Sejalan dengan Demokrat yang Tolak UU Cipta Kerja

Feri melanjutkan, Putusan MK harus dijalankan oleh pemerintah dan DPR dengan benar.

Frasa MK yang memerintahkan pembuat UU melakukan perbaikan selama dua tahun sangat jelas menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan tindakan atau membuat kebijakan sampai UU Cipta Kerja diperbaiki.

Artinya, kata Feri, waktu dua tahun itu bukan untuk menerapkan UU Cipta Kerja, melainkan melakukan perbaikan.

"Jika dipaksakan pelaksanaan seluruh tindakan/kebijakan maka akan batal demi hukum bahkan dapat berkonsekuensi pidana korupsi jika merugikan keuangan negara, cacat administratif, dan dapat digugat perdata," kata Feri.

Adapun melalui putusannya Mahkamah juga menyatakan bahwa seluruh UU yang terdapat dalam UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan.

Jika dalam kurun waktu 2 tahun pihak terkait tak melakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja akan menjadi inkonstitusional permanen.

"Apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka Undang-Undang atau pasal-pasal atau materi muatan Undang-Undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang, Kamis (25/11/2021).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com