JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim membantah anggapan soal pelegalan seks bebas dalam peraturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.
Nadiem menegaskan, Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 itu memiliki fokus utama pada penanganan korban kekerasan seksual.
“Kalau misalnya ada perkataan-perkataan di dalam ini yang bisa melegalkan atau mungkin menghalalkan tindakan-tindakan asusila, itu sama sekali bukan maksud dari permen ini,” kata Nadiem dalam webinar Merdeka Belajar, Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual, disiarkan melalui Youtube Kemendikbud RI, Jumat (12/11/2021).
Baca juga: Atur soal Consent dalam Kekerasan Seksual, Permendikbud 30/2021 Dinilai Progresif
Nadiem menekankan, permendibud tersebut merupakan peraturan yang berperspektif korban dan fokus pada penanganan kekerasan seksual.
“Fokus daripada permen ini adalah korban, korban, dan korban ini. Mohon dimengerti bagi masyarakat, kita melihat ini semua daripada perspektif korban,” tegasnya.
Oleh karena itu, kata Nadiem, aturan tersebut tidak mengatur tindakan atau pelanggaran lain di luar kekerasan seksual, seperti seks bebas.
“Kita tidak menulis mengenai seks bebas, atau plagiarisme, atau mencuri, atau berbohong. Kenapa tidak dimasukkan? Karena itu tidak dalam ruang lingkup kekerasan seksual,” ucap Nadiem.
Adapun, Permendikbud 30/2021 telah menimbulkan pro dan kontra. Kritik keras terhadap permendikbud terkait adanya consent atau persetujuan korban, dalam konteks kekerasan seksual, yang dinilai sebagai bentuk legalisasi perzinaan.
“Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad, dalam keterangan tertulis, Senin (8/11/2021).
Baca juga: Tentang Relasi Kuasa dalam Kekerasan Seksual yang Diatur Permendikbud 30/2021
Pasal 5 Permendikbud 30/2021 memuat unsur consent atau persetujuan kedua pihak sebagai kriteria bentuk kekerasan seksual. Jika korban tidak memberikan consent, tindakan itu merupakan bentuk kekerasan seksual.
Secara terpisah pada Rabu (10/11/2021), Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Kemendikbud Ristek, Nizam menegaskan, consent merujuk pada konteks adanya unsur pemaksaan terkait tindak kekerasan, bukan melegalkan zina.
Ia menegaskan, aturan ini hanya fokus pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, perlu ada jaminan bahwa korban kekerasan seksual yang mengalami pemaksaan tidak akan turut dihukum sebagai pelaku tindakan asusila.
"Formulasi 'tanpa persetujuan korban' itu kan sebetulnya bertujuan untuk menjamin bahwa korban tidak akan turut mengalami sanksi dari kampus setelah mengalami pemaksaan oleh pelaku kekerasan seksual, sehingga korban pun merasa aman dan bebas untuk mengadukan kasusnya," kata Hetifah, Kamis.
Baca juga: Ramai-ramai Mendukung Penghapusan Kekerasan Seksual di Kampus
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.