JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Golkar, Adde Rosi mengatakan, kejahatan seksual inses perlu diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekekerasan Seksual.
Rosi menilai, pengaturan mengenai kekerasan seksual oleh orang yang masih memiliki hubungan keluarga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kurang memadai. Sebab, kejahatan itu masuk kategori delik pencabulan, bukan pemerkosaan.
“Kerena dalam KUHP selama ini lebih masuk delik pencabulan dibanding perkosaan dan persetubuhan,” kata Rosi, dalam Rapat Panja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Senin (1/11/2021).
Baca juga: 4 Poin Perubahan RUU PKS ke RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
“Padahal cara-cara perbuatan inses yang justru sering terjadi justru dengan cara persetubuhan, akibatnya pasal yang digunakan tentu terlalu menguntungkan para pelaku, padahal inses dengan perkosaan tentu lebih berat ketimbang pencabulan,” imbuh dia.
Selain itu, Rosi menyebutkan, KUHP masih membatasi jenis tindakan yang masuk dalam kategori inses.
Menurutnya, banyak kasus inses justru terjadi tidak hanya dalam hubungan sedarah antara anak dan orangtua.
“Padahal dalam banyak kasus inses dengan kekerasan justru terjadi di luar hubungan darah orangtua-anak, misal cucu dengan kakek, paman-keponakan dan lain sebagainya,” ucapnya.
Baca juga: Tim Ahli Baleg: Kata Penghapusan di Draf Awal RUU PKS Dihapus dan Diganti
Dalam kesempatan yang sama, Rosi mengapresiasi draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang menambahkan alat bukti baru selain lima alat bukti yang diatur KUHP.
Ia berpendapat, dengan adanya tambahan alat bukti baru berupa surat psikologi dapat semakin memberikan titik terang dalam proses penegakan hukum kepada korban.
“Sekarang dimasukan satu alat bukti baru yaitu surat keterangan psikologi,” kata dia.
Menurut Rosi, berdasarkan data KPAI, kasus kekerasan seksual meningkat pada 2020.
Ia menyebutkan, setidaknya ada 3.000 kasus yang ditangani KPAI, namun kasus yang dibawa ke ranah hukum tidak mencapai 10 persen dari total kasus.
Baca juga: Perubahan Draf RUU PKS Dinilai Bisa Lemahkan Substansi Utama
Bahkan, berdasarkan data yang ia peroleh, 77 persen kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi dan 63 persen kasus di perguruan tinggi tidak dilaporkan secara hukum.
“Karena itu penting RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual hadir di Indonesia,” kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.