JAKARTA, KOMPAS.com - Kepolisian telah mengamankan 12 terduga pelaku perusakan masjid dan bangunan milik Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Bali Harapan, Kecamatan Tempunak, Sintang, Kalimantan Barat.
Kepala Bidang Humas Polda Kalimantan Barat Kombes Pol Donny Charles Go mengatakan, 10 pelaku diamankan aparat pada Minggu (5/9/2021) siang dan dua lainnya ditangkap pada malam harinya.
"Kepada para tersangka, kami jerat Pasal 170 KUHP, karena mereka ini secara bersama melakukan perusakan bangunan," kata Donny saat dihubungi, Senin (6/9/2021).
Dalam peristiwa ini, kepolisian setempat menduga ada auktor intelektualis yang mendalangi warga melakukan perusakan fasilitas milik Ahmadiyah.
Baca juga: Tersangka Perusakan Masjid Ahmadiyah di Sintang Kalbar Terancam Penjara 5 Tahun 6 Bulan
Terkait dengan hal itu, kepolisian masih melakukan pemeriksaan dengan menganalisa alat bukti dan barang bukti yang sudah ada.
"Karena kita perlu strategi khusus agar semuanya bisa terakomodir dengan baik tanpa ada pelanggaran di sana, kami lakukan sesuai aturan yang berlaku," ucap Donny.
Adapun peristiwa ini berawal dari sekelompok massa yang mendatangi pemukiman yang berisi JAI di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Jumat (3/9/2021) siang.
Mereka melempari bangunan masjid. Bangunan belakang masjid juga turut dibakar massa.
Kepolisian mencatat massa yang mendatangi lokasi tersebut setidaknya terdapat 200 orang. Sedangkan aparat TNI dan Polri yang berjaga sekitar 300 orang.
Baca juga: Wagub Kalbar Minta Warganya Tak Terprovokasi Perusakan Masjid Ahmadiyah: Kita Saudara
Aparat keamanan saat ini tengah fokus mengamankan warga Ahmadiyah yang berjumlah 72 jiwa atau 20 kepala keluarga serta bangunan masjid.
SKB Jadi Pemicu
Peristiwa perusakan masjid dan bangunan milik Ahmadiyah menyita perhatian dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dalam kasus ini, Komnas HAM sudah sejak lama telah mencium gelagat eskalasi sentimental warga terhadap Ahmadiyah setempat.
Sentimental tersebut diduga dilatarbelakangi adanya penandatanganan surat keputusan bersama (SKB) oleh pemangku kepentingan di Kabupaten Sintang.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengungkapkan, surat keputusan bersama tersebut berisi larangan aktivitas Ahmadiyah.
"Ini semua karena penandatanganan bersama Bupati, Kajari, Dandim, Kapolres dan Kepala Kantor Kemenag Sintang tanggal 29 April yang melarang aktivitas Ahmadiyah di Sintang," ujar Beka, dalam konferensi pers virtual, Senin.
Baca juga: Rumah Ibadah Ahmadiyah Dirusak, Komnas HAM Minta Polri Tak Hanya Tindak Pelaku Lapangan
Beka menuturkan, tak lama setelah penandatanganan surat tersebut, banyak narasi provokasi dan ujaran kebencian yang mengarah ke Ahmadiyah di media sosial.
Bahkan, narasi provokasi yang tersebar di media sosial bersifat sebuah ajakan untuk berbuat kekerasan kepada Ahmadiyah.
Setelah mencium adanya eskalasi tersebut, Komnas HAM sendiri langsung mengirim pesan kepada pimpinan di Pemerintah Kabupaten Sintang pada 13 Agustus 2021.
Dalam pesan tersebut, setidaknya ada dua poin yang menjadi pengingat bagi pimpinan daerah Kabupaten Sintang terkait adanya eskalasi terhadap Ahmadiyah.
Pertama, Pemerintah Kabupaten Sintang harus menjaga rasa aman dan damai. Kedua, menjamin hak konstitusional Ahmadiyah sebagai warga negara Indonesia.
"Kami kirim pesan juga tertulis kepada Kapolda (Kalbar), kira-kira poinnya sama. Kapolda responsnya singkat, 'siap diatensi'," kata Beka.
Baca juga: Rumah Ibadah Ahmadiyah Dirusak, Komnas HAM Desak Pemerintah Cabut SKB Nomor 3 Tahun 2008
Terkait penuntasan kasus ini, pihaknya pun meminta kepolisian menyelidiki para provokator di media sosial yang diduga menjadi auktor intelektualis dalam peristiwa tersebut.
"Kami mendorong polisi tak hanya memproses hukum, tapi auktor intelektualis yang mengkoordinir orkestrasi ujaran kebencian di social media," tegas Beka.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam meyakini bahwa kepolisian dapat dengan mudah menangkap siapa auktor intelektualis di balik peristiwa tersebut.
Keyakinan tersebut tak lepas dengan adanya rekam jejak digital sebelum dan sesudah peristiwa itu terjadi di media sosial.
"Komnas HAM juga mendapatkan dari berbagai jaringan di sana rekam jejak digital yang memang nuansanya adalah nuansa provokasi, kebencian dan sebagainya," ungkap Anam.
Mabes Polri Didesak Ambil Alih
Dalam pengusutan kasus ini, Komnas HAM mendesak Mabes Polri mengambil alih kasus perusakan rumah ibadah milik Ahmadiyah.
Anam mengatakan, Mabes Polri perlu turun tangan karena Polda Kalimantan Barat tak maksimal dalam menangani eskalasi sebelum peristiwa perusakan itu terjadi.
"Kami menganggap sekarang itu tidak bisa dilakukan secara maksimal oleh Polda di sana, ya kami minta Mabes Polri turun tangan ambil alih kasus ini," kata Anam.
Baca juga: Komnas HAM Desak Mabes Polri Ambil Alih Kasus Perusakan Rumah Ibadah Ahmadiyah di Sintang
Di samping itu, desakan Komnas HAM agar Mabes Polri mengambil alih penanganan kasus ini adalah sebagai antisipasi supaya peristiwa serupa tak terjadi di wilayah lain.
Anam beralasan bahwa perusakan tempat ibadah milik Ahmadiyah di Sintang mempunyai tipologi yang sama dengan kasus-kasus sebelumnya.
Misalnya, terjadinya sebuah peristiwa perusakan tempat ibadah milik Ahmadiyah terjadi di sebuah wilayah yang sulit diakses.
Selanjutnya, informasi perusakan tersebut langsung ramai di media sosial tak lama setelah perusakan terjadi. Akibatnya, perusakan serupa pun terjadi di banyak tempat.
"Karenanya kami mendorong ini kasus diambil alih Mabes Polri untuk memastikan tidak boleh terjadi peristiwa yang sama di Kalimantan maupun di seluruh wilayah Nusantara," tegas Anam.
Tindak Tegas
Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem Ahmad Sahroni mendesak, Polda Kalimantan Barat menindak tegas para pelaku.
"Kapolda Kalbar harus segera menangkap dan mengamankan mereka yang terlibat dalam aksi ini, dan para pelaku harus ditindak tegas," ujar Sahroni.
Baca juga: 6 Fakta di Balik Perusakan Masjid Ahmadiyah di Sintang, Dipicu Rasa Kecewa hingga Dikecam Komnas HAM
Sahroni mengatakan, tindakan tegas terhadap pelaku penting dilakukan agar peristiwa serupa tak terjadi di daerah lain.
"Untuk memperingatkan bahwa pemerintah tidak akan melakukan pembiaran terhadap aksi kriminal seperti ini," tegas Sahroni.
Di samping itu, Sahroni juga meminta agar warga tidak main hakim sendiri terhadap, terutama terhadap kelompok yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran agama pada umumnya.
Menurutnya, ada mekanisme hukum yang bisa dilakukan apabila memang terdapat pelanggaran rumah ibadah.
Misalnya, kepolisian akan mengambil tindakan berupa penyegelan terhadap masjid yang tidak berizin hingga mengganggu ketertiban.
"Yang berwenang yang berhak menyegel. Masyarakat hanya berhak melaporkan," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.