JAKARTA, KOMPAS.com - Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Yusuf mengungkapkan, kebijakan pembukaan ekspor benih lobster (benur) di masa Menteri KP Edhy Prabowo diputuskan setelah kementerian melakukan studi banding ke Australia.
Menurut Yusuf, berdasarkan studi banding, benur sudah dapat dibudidayakan. Hal ini pun sudah dilakukan Vietnam.
"Zaman Pak Edhy Prabowo, kami melakukan studi banding ke Australia. Ternyata, lobster sudah bisa dibudidayakan. Dan Vietnam melakukan. Nah, karena sudah bisa dibudidayakan, maka dibuka izin penangkapan dan ekspor," kata Yusuf dalam diskusi daring yang disiarkan PPATK, Jumat (30/7/2021).
Baca juga: Penyuap Edhy Prabowo Sebut Lebih Banyak Rugi Ketika Ekspor Benur
Ia memaparkan, daya tahan hidup benur di habitat alaminya yaitu di laut hanya 0,1 persen. Sementara itu, jika dibudidayakan, daya tahan hidupnya menjadi sekitar 60-70 persen.
"Itu alasan mengapa diizinkan. Harganya ini membuat orang terpesona. Ada dua jenis lobster yang kita hasilkan," ujarnya.
Yusuf mengungkapkan, harga per benih lobster pasir sekitar Rp 10.000. Kemudian, harga per benih lobster pasir mutiara sekitar Rp 15.000-20.000.
"Nah yang kemarin legal saja, yang disita masuk kas negara Rp 53 miliar. Hanya garansinya. Kalau nilai benih yang diekspor 40 juta ekor. Bayangkan dikali berapa harganya," ucap dia.
Diketahui, pada 2020, Menteri KP Edhy Prabowo membuka kuota ekspor benih lobster. Aturan ekspor benur ini dibuka Edhy setelah selama lima tahun dilarang oleh menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti.
Belakangan, Edhy ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap terkait izin ekspor benur.
Kini, ia telah dijatuhi vonis hukuman 5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Baca juga: Edhy Prabowo Didakwa Terima Suap Rp 25,7 Miliar Terkait Izin Ekspor Benur
Edhy terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.
Selain itu, Edhy juga dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 9,68 miliar dan 77.000 dollar AS subsider dua tahun penjara.
Kemudian, majelis hakim juga mencabut hak politik Edhy selama tiga tahun terhitung sejak Edhy selesai menjalankan masa pidana pokok.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.