JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada jajaran Kementerian Sosial untuk mengakselerasi program perlindungan sosial berupa bantuan sosial bersamaan dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.
Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M Syarif mengatakan, pemberian dana bansos Covid-19 yang mementingkan kecepatan dan keterjangkauan luas membuat pengawasan akuntabilitas kurang diperhatikan.
Apalagi, Jokowi memberikan mandat bahwa bulan Juli, semua bantuan sosial terkait Covid-19 harus segera disalurkan.
“Akuntabilitas justru sangat penting untuk memastikan uang negara dan daerah yang dialokasikan untuk penanganan Covid-19 benar-benar sampai ke masyarakat," kata Laode dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (7/7/2021).
Baca juga: Dana Covid-19 Rp 107 Miliar Tak Bisa Dipertanggungjawabkan, Bupati Jember Bingung Cari Jawaban
“Dalam kondisi luar biasa darurat seperti sekarang, dibutuhkan kerja sama terpadu yang luar biasa untuk kegiatan pengawasan akuntabilitas,” ucap Laode.
Pada Juni 2020, jumlah dana Covid-19 yang dialokasikan pemerintah mencapai Rp 405 triliun yang dibagi dalam empat bidang.
Rinciannya, yakni kesehatan Rp 75 triliun, jaring pengaman sosial Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan kredit usaha rakyat (KUR) Rp 70 triliun, dan pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun.
Dalam perkembangannya, menurut Auditor Utama Keuangan Negara III BPK Bambang Pamungkas, total dana Covid-19 mencapai Rp 1.035,2 triliun.
Baca juga: Bupati Mamberamo Raya Korupsi Miliaran Dana Covid-19, Uangnya Diduga untuk Pilkada
Jumlah tersebut berasal dari APBN sebanyak Rp 937,42 triliun, APBD sebesar Rp 86,36 triliun dan sektor moneter sebesar Rp 6,50 triliun,
Selain itu, ada juga dari BUMN dengan total anggaran sebesar Rp 4,02 triliun, BUMD sekitar Rp 320 miliar, dan yang berasal dari dana hibah dan masyarakat sebesar Rp 625 miliar, sehingga total anggarannya yakni Rp 1.035,2 triliun.
Mengingat keempat bidang sasaran pemanfaatan dana Covid-19 sangat luas dan mencakup
seluruh Indonesia, menurut Laode, dibutuhkan kelengkapan data, transparansi dan pengawasan yang teliti dalam penggunaannya.
Hal ini diperlukan agar tidak terjadi manipulasi, korupsi dan ketidaktepatan sasaran pembelanjaan.
“Dari keempat bidang ini, yang paling rawan dimanipulasi adalah jaring pengaman sosial,
insentif perpajakan, KUR, dan program pemulihan ekonomi nasional karena data masing-masing kementerian dan pemda sangat berbeda," kata Laode.
Baca juga: Wapres: Pemerintah Sedang Hitung Kemungkinan Tambahan Anggaran untuk Pemulihan Ekonomi
"Jumlah orang miskin di Kementerian Sosial berbeda dengan data di kementerian lain dan data di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota," ucap dia.
Ketidakjelasan data, lanjut Laode, akan memudahkan pemburu rente mengondisikan penerima insentif pajak, KUR, dan program pemulihan ekonomi kepada orang dekat atau yang tak berhak atau malah dinikmati pengusaha besar.
"Namun demikian, yang perlu diawasi secara ketat adalah komponen insentif perpajakan dan kredit usaha rakyat (KUR), serta pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional (PEN)," ucap mantan Pimpinan KPK ini.
"Karena pemanfaatannya akan sarat dengan conflict of interest (benturan kepentingan), karena kriteria penerima tidak jelas dan gampang untuk dimainkan” tutur Laode.
Baca juga: Kades Korupsi Dana Covid-19 untuk DP Mobil Selingkuhan Lolos dari Hukuman Mati, Ini Penjelasan Jaksa
Selain itu, penyebab lain yang mengakibatkan dana Covid-19 dapat diselewengkan adalah
mudahnya pengadaan barang dan jasa (PBJ) di masa pandemi.
Lembaga Kebijakan pengadaan barang/jasa Pemerintah (LKPP) mengeluarkan Surat Edaran No 3 Tahun 2020 yang intinya memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk melakukan penunjukan langsung dan melakukan pekerjaan swakelola selama harganya wajar.
Keleluasaan seperti ini dapat membuka peluang kolusi dengan penyedia barang/jasa, penggelembungan nilai (mark up), dan kemungkinan suap (kick back), serta konflik kepentingan dalam pengadaan barang/jasa.
Oleh karena itu, jika tidak diawasi dengan ketat. Sistem seperti ini dapat menimbulkan moral
hazard dan penyelewengan yang masif.
Untuk mencegah penjarahan dana Covid-19 yang terstruktur, Kemitraan merekomendasikan pemerintah pusat dan daerah harus mempersiapkan anti-corruption safeguards dana Covid-19 dengan serius. Anti-corruption safeguards tersebut harus memuat hal-hal berikut:
1. Pemerintah harus menyiapkan petunjuk yang jelas tentang model penganggarannya
agar sesuai dengan peruntukannya dan melarang tegas model penganggaran yang
memiliki aroma konflik kepentingan.
2. Dari segi pengadaan barang/jasa, meski diperbolehkan penunjukan langsung dan
swakelola, para pejabat harus mengikuti Surat Edaran KPK Nomor 8/2020 yang
melarang dengan tegas persekongkolan, penyuapan, gratifikasi, konflik kepentingan,
kecurangan, malaadministrasi, dan tidak boleh membiarkan terjadinya tindak pidana
korupsi.
Baca juga: Soal Dugaan Penyelewengan Dana Covid-19 Rp 4,9 Miliar di Sumbar, Ini Faktanya
3. Dalam hal pemberian bantuan, harus mendahulukan masyarakat yang betul-betul
miskin dan yang telah tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial karena
telah dipadu-padankan dengan nomor induk kependudukan di KTP.
Setelah itu, dapat disusul dengan ”masyarakat miskin baru” yang diakibatkan kehilangan
pekerjaan akibat Covid-19.
4. Pemerintah harus memiliki kebijakan jelas dan konsisten dari pusat sampai daerah
terkait dana bantuan Covid-19.
5. KPK, Polri, dan Kejaksaan tidak boleh melakukan pembiaran. Jika terjadi pelanggaran
hukum dan malaadministrasi, harus segera diselidiki agar menimbulkan efek jera
(deterrent effect) bagi para pelaku kejahatan.