JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pekerja anak yang cukup tinggi.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, angka pekerja anak di Indonesia semakin memprihatinkan.
Faktor penyebabnya bermacam-macam. Pada masa pandemi Covid-19 ini, dikhawatirkan jumlahnya akan terus bertambah.
"Angka pekerja anak di Indonesia hingga kini masih memprihatinkan dan bahkan semakin mengkhawatirkan setelah datangnya pandemi Covid-19," kata Bintang dalam webinar Pencegahan Pekerja Anak, Rabu (23/6/2021).
Baca juga: Menteri PPPA Minta Semua Pihak Seriusi Tingginya Angka Covid-19 pada Anak
Berdasarkan data Sakernas pada Agustus 2020, diketahui 9 dari 100 anak usia 10-17 tahun (9,34 persen atau 3,36 juta anak) bekerja.
Dari 3,36 juta anak yang bekerja tersebut, sebanyak 1,17 juta merupakan pekerja anak.
Adapun anak yang bekerja merupakan anak yang melakukan pekerjaan dalam jangka waktu pendek, di luar waktu sekolah, dan tanpa unsur eksploitasi. Misalnya dalam rangka membantu orangtua, melatih tanggung jawab, disiplin atau keterampilan.
Usia minimum anak yang bekerja sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah 13 tahun, dengan syarat-syarat yang sangat ketat.
Sementara itu, pekerja anak melakukan pekerjaan secara intens sehingga mengganggu dan membahayakan kesehatan, keselamatan, dan tumbuh kembangnya.
"Anak yang dipekerjakan di bawah usia minimum yang diperbolehkan UU juga termasuk pekerja anak," kata Bintang.
Baca juga: Menteri PPPA: Angka Pekerja Anak Indonesia Memprihatinkan, Lebih Banyak di Pedesaan
Jika membandingkan data Sakernas 2020 dan 2019, kata dia, terlihat bahwa persentase pekerja anak di Indonesia meningkat dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
"Peningkatan pekerja anak justru terjadi pada kelompok umur 10-12 tahun dan 13-14 tahun," kata dia.
Dari data yang sama, kata dia, pekerja anak lebih banyak berada di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan atau sekitar 4,12 persen berbanding 2,53 persen.
Pekerja anak laki-laki bahkan sedikit lebih banyak dibandingkan pekerja anak perempuan, yakni mencapai 3,34 persen berbanding 3,16 persen.
"Meskipun demikian, ILO menyebutkan terdapat kemungkinan bahwa banyak pekerjaan anak perempuan yang tidak terhitung karena mereka banyak mengerjakan beban perawatan tidak berbayar seperti mengurus rumah tangga," ujar Bintang.
Baca juga: Menteri PPPA Sebut PJJ Berisiko Tingkatkan Jumlah Pekerja Anak di Indonesia