JAKARTA, KOMPAS.com - Isu radikalisme kembali menguat pasca-pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Sebanyak 75 pegawai dinyatakan tak memenuhi syarat TWK. Kemudian, 51 orang di antaranya bakal diberhentikan karena dianggap tidak bisa dibina dan dicap merah, salah satunya penyidik KPK Novel Baswedan.
Novel membantah isu yang kerap disebut dengan istilah Taliban itu. Ia mengatakan, tak mungkin jika upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh orang-orang yang berpaham radikal dan tidak nasionalis.
"Ketika aparatur ini berbuat sesuatu yang menguntungkan diri atau kelompoknya, meninggalkan kewajibannya mencapai tujuan, itulah korupsi. Jadi kalau (pemberantasan) korupsi mau dijauhkan dari nasionalisme itu enggak mungkin," ucap Novel dalam diskusi digelar Public Virtue Institute, Minggu (20/6/2021).
Baca juga: Novel Baswedan Jawab Isu Taliban di KPK
Novel menyebut isu mengenai pegawai KPK memiliki paham radikalisme sudah diembuskan sejak lama.
Pihak-pihak yang terusik dengan upaya pemberantasan korupsi berupaya menyingkirkannya dengan membangun isu radikalisme di KPK.
"Tapi yang terjadi upaya saya ini dibungkus seolah-olah kita melawan radikalisme atau talibanisme yang merusak NKRI. Ini mereka sudah melakukannya sejak lama,” tutur dia.
Novel mengaku sempat punya keinginan untuk keluar dari KPK sejak 2019. Bahkan pada 2016, ia pernah diminta untuk keluar dari KPK.
Kala itu, menurut Novel, ada pihak yang tak menyukainya bekerja sebagai penyidik.
“Saya katakan, saya di KPK ini bukan untuk membuat orang lain suka atau apa. Karena berantas korupsi pasti tidak disukai oleh koruptor, kalau berantas korupsi harus membuat koruptor suka hal itu tidak mungkin terjadi,” tutur Novel.
Baca juga: Cerita Novel Baswedan Sudah Ingin Mundur dari KPK Sejak 2019
Novel menegaskan, ia bergabung dengan KPK bukan untuk mencari karier yang cemerlang.
Jika karier yang dicari, ia bisa saja memutuskan untuk melanjutkan profesinya sebagai polisi.
“Saya di KPK ini bukan untuk mencari karier. Saya anggota Polri, lulusan Akabri, yang kariernya harusnya sangat luar biasa dan banyak diharapkan orang untuk bisa berkarier di sektor kepolisian," ucap Novel.
"Tapi saya tinggalkan, saya mau menggunakan kesempatan saya untuk membela kepentingan negara memberantas korupsi,” imbuh dia.
Stigmatisasi
Keputusan pemberhentian pegawai KPK belakangan menuai banyak kritik dari masyarakat. Ketidakjelasan indikator atau tolok ukur TWK dikhawatirkan akan menimbulkan stigmatisasi terhadap pegawai.
Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Muhammad Abdullah Darraz, tak memungkiri adanya tudingan negatif terhadap pegawai yang tidak lolos tes.
Ia menilai, narasi radikalisme atau Taliban kembali menguat karena indikator dan ukuran dalam TWK yang tidak jelas.
Darraz berpandangan, narasi negatif tersebut merupakan bagian dari upaya pelemahan KPK. Pegawai yang selama ini dianggap kritis coba disingkirkan melalui TWK dan dicap radikal.
“Masalahnya mereka yang dianggap tidak lulus TWK dan dituding tidak cakap dalam wawasan kebangsaan tanpa bukti yang jelas dan meyakinkan. Mereka yang selama ini mengkritik pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan KPK,” ujar Darraz, saat dihubungi, Kamis (27/5/2021).
Baca juga: Pembangkangan dan Omong Kosong Isu Taliban di Gedung Merah Putih KPK
Narasi Taliban dan radikalisme ini sempat ramai di media sosial saat polemik revisi Undang-Undang tentang KPK.
Analis media sosial dan digital Universitas Islam Indonesia (UII) Ismail Fahmi menyebut isu tersebut diembuskan secara sistematis pada 7 September hingga 13 September 2019.
Fahmi menuturkan, kelompok pendukung revisi UU KPK menggunakan narasi lembaga antikorupsi itu dipenuhi dengan orang-orang yang berpaham radikal.
Kemudian, kelompok penolak revisi UU KPK menegaskan tidak ada radikalisme di internal KPK. Isu radikalisme ini juga sudah dibantah oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dan Alexander Marwata.
"Kalau Taliban dalam pengertian militan pemberantasan korupsi mungkin iya, tapi kalau Taliban yang lain, mungkin hanya ada di Afganistan," kata Alexander.
Baca juga: Pimpinan KPK Bantah Isu Radikalisme dan Taliban
Mengenai narasi radikalisme, Darraz mengatakan, belum pernah ada indikator yang dapat membuktikan hal itu. Misalnya, indikator terkait fanatisme, sikap intoleran, anti-kebinekaan dan kekerasan.
"Apa indikatornya? Apakah pegawai KPK yang anti-Pancasila, UUD 1945, NKRI? Apakah ada pandangan yang menyebut negara ini thagut? Apakah ada staf KPK yang intoleran, anti-kebinekaan, antikonstitusi, fanatik?" ucap Darraz.
"Saya pernah juga berdialog dengan pimpinan KPK periode sebelum ini. Saya tidak melihat ada kesan-kesan proses radikalisasi di tubuh KPK," kata mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.