JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang mengurangi masa hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari mengejutkan banyak pihak.
Pasalnya majelis hakim memotong masa hukuman Pinangki yang mulanya selama 10 tahun menjadi empat tahun. Itu artinya hakim memotong 60 persen masa hukuman Pinangki.
Adapun pemotongan hukuman tersebut diputuskan majelis hakim dengan mempertimbangkan beberapa hal. Salah satunya, karena Pinangki dianggap sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya.
Baca juga: Pemangkasan Hukuman Pinangki: Dinilai Janggal dan Lukai Upaya Pemberantasan Korupsi
Selain itu hakim juga mempertimbangkan Pinangki adalah seorang ibu dari anak berusia empat tahun sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.
Pertimbangan lainnya yakni Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
"Bahwa perbuatan Terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini," demikian yang tertulis dalam laman putusan MA.
Diketahui putusan tersebut diambil oleh ketua majelis hakim Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik.
Kompas.com berupaya menyajikan profil Yusuf selaku ketua majelis hakim yang telah mengetok putusan yang mendapat banyak kritikan dari sejumlah pegiat antikorupsi tersebut.
Baca juga: Pertimbangan Hakim dalam Putusan Banding Pinangki Dinilai Tidak Adil
Berdasarkan situs resmi pt-jakarta.go.id, Yusuf adalah seorang hakim tinggi dengan golongan Pembina Utama IV/e.
Yusuf lahir di Sumedang, 18 Oktober 1955. Sebelum menjadi hakim di PT DKI Jakarta, ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kendari.
Kemudian, ia diangkat menjadi Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan.
Dikutip dari pt-banjarmasin.go.id, Yusuf dilantik menjadi Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan pada 20 April 2010.
Dikutip dari elhkpn.kpk.go.id, Yusuf terakhir kali melaporkan harta kekayaannya pada 5 Februari.
Baca juga: Pemangkasan Hukuman Pinangki Dinilai Kurangi Efek Jera bagi Koruptor
Tercatat, Yusuf memiliki harta kekayaan sebesar Rp 2.405.392.839.
Aset berupa tanah dan bangunan menyumbang sebagian besar harta kekayaan Yusuf. Walau hanya memiliki dua tanah dan bangunan, tetapi totalnya mencapai Rp 1,7 miliar.
Aset lain yang dimiliki Yusuf adalah alat transportasi dan mesin yang mencapai Rp 326 juta. Yusuf juga masih memiliki sejumlah aset yang menambah pundi-pundi harta kekayaannya.
Rinciannya harta bergerak lainnya Rp 336.150.000 serta kas dan setara kas Rp 43.242.839.
Selengkapnya, berikut daftar harta kekayaan Muhammad Yusuf, hakim di PT DKI Jakarta:
A. TANAH DAN BANGUNAN Rp 1.700.000.000
1. Tanah dan Bangunan Seluas 513 m2/149 m2 di SUMEDANG, WARISAN Rp 1.000.000.000
2. Tanah dan Bangunan Seluas 198 m2/108 m2 di SUBANG, HASIL SENDIRI Rp 700.000.000
B. ALAT TRANSPORTASI DAN MESIN Rp 326.000.000
1. MOBIL, TOYOTA KIJANG- STW MINIBUS Tahun 1993, HASIL SENDIRI Rp 150.000.000
2. MOTOR, SUZUKI SHOGUN SEPEDA MOTOR Tahun 2004, HASIL SENDIRI Rp 6.000.000
3. MOBIL, TOYOTA KIJANG INNOVA MINIBUS Tahun 2008, HASIL SENDIRI Rp 150.000.000
4. MOTOR, YAMAHA NMAX SEPEDA MOTOR Tahun 2015, HASIL SENDIRI Rp 20.000.000
C. HARTA BERGERAK LAINNYA Rp 336.150.000
D. SURAT BERHARGA Rp ----
E. KAS DAN SETARA KAS Rp 43.242.839
F. HARTA LAINNYA Rp ----
Sub Total Rp 2.405.392.839
HUTANG Rp ----
TOTAL HARTA KEKAYAAN Rp 2.405.392.839
Adapun sebelum menangani perkara banding Pinangki, Yusuf juga pernah menangani perkara banding mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang diajukan KPK.
Diketahui, KPK mengajukan banding atas vonis terhadap Wahyu yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat.
Baca juga: Pengurangan Hukuman Pinangki Dinilai Jadi Pintu Masuk Meringankan Vonis Djoko Tjandra
Salah satu pertimbangan KPK mengajukan banding karena Wahyu tidak dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik.
Namun, PT DKI Jakarta menolak banding tersebut. Putusan banding PT DKI Jakarta tidak menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik bagi Wahyu seperti yang diminta KPK.
Alasannya, Wahyu tidak berkarier dalam dunia politik serta dengan pertimbangan hak asasi manusia, Wahyu telah bekerja di KPU dengan menyukseskan Pemilu 2019.
"Bahwa Terdakwa Wahyu Setiawan tidak berkarier dalam dunia politik dan dengan telah dijatuhi pidana pokok tersebut sudah tipis harapan untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi," demikian bunyi amar putusan majelis hakim dari situs Direktori Putusan MA, Rabu (9/12/2020).
Putusan banding tersebut juga menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis 6 tahun penjara bagi Wahyu.
Baca juga: ICW: Pemangkasan Hukuman Jaksa Pinangki Merusak Akal Sehat Publik
"Menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 24 Agustus 2020 Nomor 28/Pid.SusTPK/2020/PN.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut," demikian bunyi putusan majelis hakim banding.
Adapun majelis hakim yang memutuskan banding tersebut terdiri dari Muhammad Yusuf sebagai hakim ketua majelis serta Sri Andini, Haryono, Jeldi Ramadhan, dan Lafat Akbar selaku hakim anggota.
Putusan banding terebut dibacakan pada Senin (7/9/2020) tersebut dan tercatat pada nomor putusan 37/PID.TPK/2020/PT DKI.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.