Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Seberapa Rela Kita Tidak Mudik demi Memutus Pandemi?

Kompas.com - 12/05/2021, 14:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Perhaps what we need is to reframe the argument 'I don't know how to explain to you that you should care about yourself'"

(Roddy & Muehlbauer, n.d.; Roddy & Muehlbauer, 2020)

Oleh: Bonar Hutapea

JIKA BENAR, sejak 6 Mei 2021, sudah lebih dari 4.000 dari 6.742 pemudik yang dites pada 381 lokasi secara acak dinyatakan positif Covid-19 (Farisa, 2021).

Sungguh memprihatinkan dan mencemaskan, sebab tidak mustahil situasi ini berubah menjadi krisis terburuk sebagaimana dialami India bila pemerintah lengah sedikit saja dan masyarakat, alih-alih mendukung justru tidak menunjukkan kepatuhan terhadap larangan mudik.

Apakah memilih tetap mudik, yang berarti menentang larangan pemerintah, sesuatu yang mengherankan? Tentu saja tidak.

Sejak periode awal pandemi ini dinyatakan sebagai bencana nasional yang diikuti berbagai keputusan pemerintah sebagai upaya mengurangi potensi penyebaran dan risiko kematian karena terpapar Covid-19, banyak warga masyarakat yang tidak mematuhinya.

Bahkan dalam beberapa hari terakhir, beredar luas di media sosial dan media massa perilaku agresif beberapa orang terhadap seseorang yang menggunakan masker dengan memaksanya melepas masker jika ingin diperbolehkan beribadah dalam rumah ibadah. Sungguh ironis!

Kunci keberhasilan penanganan pandemi ini, salah satunya dan yang terutama, terletak pada kehendak publik untuk patuh.

Pertanyaan yang mungkin muncul di benak sebagian orang saat ini: Mengapa ngotot dan mengabaikan larangan mudik dalam masa pandemi ini?

Tentu saja, masalah kepatuhan tidak dapat direduksi menjadi ketidaktahuan atau semata-mata karena kurangnya pengetahuan, tetapi harus diteliti untuk memahami kemungkinan fungsi dan peran aspek sosio-psikologis dari perilaku ini.

Karena masih sangat baru, belum ditemukan kajian yang secara khusus berfokus untuk menjelaskannya.

Namun bila dikaitkan dengan kepatuhan pada sejumlah aturan terkait dengan penanganan Covid-19, maka paling tidak sejumlah motif yang diduga dapat berperan, antara lain:

Reaksi/reaktansi psikologis

Pandemi Covid-19 sejak lebih dari setahun lalu sangat jelas membatasi banyak kebebasan, tindakan dan pilihan manusia. Pembatasan ini dipersepsikan sebagai ancaman, merugikan dan/atau dirasakan tidak menyenangkan.

Individu kemudian bereaksi untuk memulihkan kebebasannya. Menurut teori yang diajukan Brehm (1966) ini, reaksi psikologis akan meningkat seiring dengan meningkatnya ancaman (yang dipersepsikan) terhadap kebebasan dan melibatkan individu yang juga ingin memulihkan kebebasan, menuju sumber kendali (Akhtar et al., 2020).

Larangan terhadap mudik sebagai tradisi yang sudah mengakar secara historis dan sosiologis di masyarakat, apalagi bila dilekatkan makna religius padanya, akan dipandang sebagai ancaman.

Ancaman kebebasan membangkitkan reaktansi, emosi negatif (utamanya rasa marah) dan juga bias kognitif yang berdampak pada pengambilan keputusan yang lebih berisiko, yakni nekat mudik.

Kata-kata keluar dari warga dalam percakapan sehari-hari ataupun ditujukan kepada petugas pada titik-titik penyekatan mudik, seperti "apa-apa enggak boleh, apa-apa dibatasi, seperti mati rasanya".

Ada juga yang bilang, "Jangan hambat dan halangi saya, saya ingin bertemu anak dan keluarga saya." "Bapak-bapak, harusnya mengerti, apa yang salah sih kalau bertemu orangtua di kampung sekali setahun saja." "Covid itu hanya penipuan, bohong-bohongan."

Itu semua menunjukkan kelelahan mental karena menganggap kebebasannya sangat dikendalikan dan tak mempunyai pilihan dan tentu saja menunjukkan adanya distorsi pemikiran dengan tidak memahami larangan mudik sebagai upaya pemerintah melakukan pencegahan dan melindungi dirinya dan banyak orang lain.

Apalagi ancaman terhadap kebebasan ini dipersepsikan berasal dari agen sosial dan sumber kendali yang lebih kuat, dalam hal ini pemerintah, melalui ancaman hukuman atau bentuk lainnya yang dipandang tak menyenangkan, menimbulkan reaksi dari pemudik seperti yang kita ketahui dan saksikan beberapa hari terakhir.

Secara khusus, bagi orang yang anti terhadap pemerintah dan bersikap berat sebelah (partisanship dan partisan echo chambers), dalam konteks pengaruh sosial, reaktansi ini menyebabkan individu menolak pesan dan, dengan demikian, menyebabkan kampanye persuasif menjadi tidak efektif bagi mereka.

Bahkan bisa saja dengan sengaja melakukan perlawanan dan mengajak banyak orang lainnya untuk melakukan hal yang sama, antara lain dengan menerobos penyekatan mudik dan sejumlah cara lain sebagai bentuk keputusan berisiko.

Polarisasi politik memang menjadi hambatan tersendiri bagi pemerintah dalam mengkoordinasikan tindakan.

Rendah atau krisis rasa percaya publik

Sejak awal menjadi pandemi global dan bencana nasional, publik seringkali dibuat bingung, tak sedikit yang merasa jengkel dan menjadi kurang percaya terhadap pernyataan pemimpin dan otoritas kesehatan.

Namun, publik mungkin saja tidak mengetahui bahwa suasana tidak pasti dan tidak jelas tersebut salah satunya akibat pemahaman tentang Covid-19 yang masih belum jelas.

Para peneliti bidang kesehatan, terutama yang berfokus pada Covid-19, tidak sejak awal dapat secara meyakinkan memberi saran yang jelas dan pasti. Sebut saja, misalnya, pemakaian masker yang sempat diberlakukan secara inkonsisten dan sporadis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com